03 : Memangnya Siapa Yang Ingin Hidup Seperti Ini?

1.2K 227 31
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Jendral tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan betapa mengerikannya menjalani hidup seperti ini. Bertahan hidup diantara orang-orang yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka juga ingin Jendral hadir di dunia ini. Dipandang sebelah mata, diejek, dan dirundung didepan banyak orang seolah-olah dirinya benar-benar seseorang yang tidak pantas untuk hadir.

Tetapi daripada rasa sakit pada fisiknya, hati Jendral jauh lebih sakit saat mendapati Hasta yang hanya memandangnya dari jarak jauh. Membiarkan orang-orang sialan dan sok berkuasa itu berkuasa penuh atas tubuh Jendral, mengolok-olok dan mencacinya. Tidak berniat membela, menghentikan atau memastikan bahwa Jendral tidak apa-apa. Laki-laki itu sepenuhnya acuh, seperti menganggap Jendral tidak ada.

Hasta mungkin hampir sama dengan Ayah. Acap kali memberikan cacian ketika dirasa pekerjaan yang Jendral lakukan tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, sedangkan Manggala akan lebih memilih acuh dan melakukan pekerjaannya sendiri. Ditatap dingin, diacuhkan, dan tidak dipedulikan, dan sialnya hal itu yang selalu Jendral temukan setelah membuka matanya dipagi hari. Dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya merangkul erat pundak Jendral untuk menghadapi dunia.

Hari-hari Jendral dipenuhi keheningan, hampa, dan kosong. Kepalanya selalu berisik, tetapi Jendral tidak pernah mempunyai tempat untuk membagi berisik itu. Banyak hal yang ingin Jendral katakan, tetapi sayangnya dia tidak mempunyai tempat untuk didengarkan. Jendral selalu dipaksa bungkam, bahkan sebelum menyelesaikan kata-katanya.

Pukul tiga sore saat Jendral menuntun sepedanya memasuki pagar rumahnya. Laki-laki itu melihat dua mobil keluaran terbaru terparkir didepan rumahnya, Jendral mengerjabkan matanya pelan, siapa pemilik mobil abu-abu itu? Tamu kah? Atau rekan kerja Ayah yang mampir?

Lantas laki-laki bersurai hitam itu buru-buru menuntun sepedanya menuju halaman belakang, kemudian memasuki dapur lewat pintu yang memang terhubung disana. Jendral terdiam sebentar melihat sang Ayahnya berdiri didepan meja dengan dua cangkir dihadapannya, nampak terdiam dan menimbang-nimbang.

Mendengar suara langkah pelan yang berjalan masuk, Bastian menoleh cepat dan mendapati Jendral dengan pakaian khas sekolah yang masih terpakai rapi ditubuhnya. Laki-laki itu mendengus tidak suka saat Jendral berjalan kearahnya dengan sedikit menunduk.

"Darimana saja?!" Suara Bastian tidak keras, tapi Jendral langsung tahu jika Ayah sedang kesal padanya.

"M-maaf Ayah, aku tadi mengerjakan piket terlebih dahulu."

Bastian mendengus geli melihat tangan Jendral yang menari lincah, dia sama sekali tidak tahu- dan tidak mau tahu apa makna atas bahasa isyarat yang baru saja anaknya lakukan.

"Bikinin kopi cepat, ada tamu." Bastian melengos setelah meletakkan sendok keatas meja dengan sedikit keras. "Antarkan, jangan banyak bicara."

"Ah lupa, kamu kan cacat."

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang