Bipolar Disorder

317 34 9
                                    

Rabu, 06.18

Seorang gadis berseragam putih abu-abu dengan rambut terurai itu duduk menikmati kabut embun yang masih menyelimuti arena lapangan sekolah. Pikirannya entah kemana. Ia sengaja berangkat sepagi ini untuk menghindari kakaknya yang mungkin akan banyak bertanya tentang keadaannya saat ini.

Pandangan kosong dan helaan nafas kasar berulang kali menjadi tanda seberapa frustasi dirinya. Sherra berpikir andai saja dirinya tidak mudah tertipu dengan niat buruk Arga.

Jika sudah seperti ini, melaporkan pada pihak sekolahpun tidak ada gunanya. Dirinya hanya akan menjadi korban sekaligus pelaku pencemaran nama baik dari salah satu anggota geng petinggi sekolah tersebut.

"Sherra goblok! Lo bego!", lirihnya sambil memukul-mukul kepalanya sendiri dengan frustasi.

Jika bisa menangis mungkin seharusnya hari ini dia sudah menangis.

Tiba-tiba sebuah telapak tangan cukup kasar mencekal pergerakkannya. Pandangannya refleks ia bawa pada seorang lelaki yang berdiri tegap di sampingnya. Tubuh lelaki yang tinggi itu membuat leher Sherra harus bekerja ekstra dengan mendongak penuh.

"Lo ngapain sih? Benturin sekalian ke tembok biar mantep", sinis lelaki yang sering dipanggil Revan itu.

Sherra menarik tangannya kasar agar terlepas dari genggaman Revan. Gadis itu langsung teringat ancaman yang dikirim melalui pesan singkat kemarin sore.

Dengan ekspresi datarnya, Sherra bergegas berdiri dan melangkahkan kaki menjauhi Revan.

Grebbb.

Lagi-lagi tangan besar itu menarik pergelangan tangan Sherra hingga berbalik dan menabrak dada bidangnya.

Tatapan keduanya saling bertemu. Menunjukkan ribuan makna tersirat yang tidak bisa disampaikan. Ingin sekali Sherra menikmati lebih lama wajah tampan dengan mata indah di hadapannya itu. Tapi pikirannya seolah menolak tegas keberadaan Revan.

"Minggir", ketus Sherra berusaha mendorong tubuh Revan agar menjauh.

"Lo ngapain pagi-pagi ngelamun?", tanya Revan perhatian seolah belum mengerti bahwa Sherra berusaha menghindarinya.

Gadis dengan rambut hitam panjang itu tidak menjawab. Tubuhnya langsung ia palingkan untuk pergi menjauh.

"Lo ngehindarin gue?", nada Revan sedikit meninggi karena posisi Sherra yang sudah jalan beberapa langkah.

Sherra masih diam, berusaha melanjutkan perjalanan.

"Gue harus ngelakuin apa lagi sih biar lo stop terlihat menyedihkan kaya gini?!", akhirnya kalimat yang sudah sekian lama terpendam itu keluar dari mulut Revan.

Mata Sherra memanas mendengar pertanyaan itu. Ia ingin sekuat tenaga menyangkal, tapi apa yang dikatakan Revan tidak sepenuhnya salah. Ia tahu betul bahwa dirinya memang..

Terlihat menyedihkan.

Dengan nafas yang sudah separuh sesak gadis itu berbalik ke belakang. Menatap dalam ke arah Revan. Tangannya mencengkram erat pinggiran rok abu abu yang ia kenakan.

"Lo bisa gak berhenti ganggu gue, Van?", tegasnya sedikit meninggikan nada.

Lapangan yang masih sunyi itu menjadi saksi keputus-asaan kedua insan yang sedang berdebat ini.

"Lo ngancurin hidup gue, Revandra Arnatta!!", Sherra berteriak diakhir kalimatnya.

Matanya terpejam singkat merasakan gelenyar aneh saat menatap Revan.

Pria itu..

Membuat Sherra yang tidak pernah ragu untuk meninggalkan siapapun kecuali kakaknya merasakan sesak luar biasa saat berusaha pergi.

Revan mematung, memandangi punggung gadis yang baru saja meneriakinya dengan putus asa. Dadanya sesak, mengingat seberapa keras ia berusaha melindungi Sherra. Namun bagi gadis itu, dirinya hanya membawa kehancuran.

Di satu sisi, Sherra yang berhasil membuat laki-laki yang ditinggalkannya itu tidak berkutik sedang duduk di bangku kelasnya. Menikmati hilir mudik siswa-siswi yang masuk dan berbincang.

Matanya terjebak pada sesosok gadis yang masuk ke arah kelas dengan memakai masker. Terlihat wajah sahabatnya itu sedikit lebam kebiruan. Huftt, Sherra tahu penyebabnya.

"Al, ini pasti kerjaan-", omongannya terputus saat Alin merespon dengan tatapan malasnya.

"Gue lagi nggak pengen bahas ini", ketus Alin.

Suasana diantara dua sahabat itu sangat aneh hari ini. Mood Alin yang sedang tidak baik, ditambah pikiran Sherra yang sedang kacau. Bahkan saat bel istirahat berbunyi, Sherra dan Alin hanya duduk di pinggir lapangan sekolah tanpa membuka obrolan apapun.

Sherra melirik ke arah sahabatnya yang akrab sejak SMP itu. Dilihatnya banyak luka lebam di sekitar wajah dan lengan. Ditambah luka sayat di pergelangan tangan Alin yang sengaja di tutupi oleh cardigan berwarna lilac.

Sherra yang tidak tahan akhirnya memecah keheningan.

"Lo suicide lagi?"

"Gue bipolar, She. Lo nggak akan pernah ngerti rasanya jadi gue!", bentak Alin kepada sahabatnya.

Sherra menghela nafas panjang, mengalihkan pandangan ke arah hamparan langit biru yang terasa menenangkan di atas kekacauan.

"Lo lupa kalo gue juga gangguan jiwa?", nadanya semakin melemah.

"Di dunia ini nggak ada yang hidupnya baik-baik aja, Al. Adanya cuma siapa yang berhasil bikin dunia tahu tentang masalahnya, dan siapa yang enggak. Gue bukan gak punya masalah, gue cuma gak pernah cerita", sambungnya.

"Tapi gue tetep nggak bisa ninggalin Jovan, She. Gue cinta sama dia", suara Alin bergetar. Tangisannya mulai pecah.

Benar dugaan Sherra, luka lebam pada tubuh Alin disebabkan oleh pacarnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu, lelaki kasar yang selalu menyakitinya secara fisik maupun psikis tetap dijaga.

Tapi ketika melihat kondisi Alin saat ini, untuk sekedar menasihati saja rasanya tidak mampu. Sherra hanya menarik sahabatnya ke dalam pelukan. Memberikan ketenangan yang menurutnya hanya itu satu-satunya pertolongan.

"Gue nggak akan ninggalin lo di kondisi apapun. Support gue bakal selalu utuh buat lo–"

Sherra menarik nafas panjang, berusaha menenangkan pikiran yang ikut kacau melihat kondisi sahabatnya.

"Jadi jangan pernah takut buat nyeritain semuanya ke gue", suara Sherra semakin melemah.

Tangannya masih terus menepuk pundak Alin yang tidak berhenti menangis.

– Apapun yang lo lakuin, gimanapun keputusan lo. Gue cuma mau lo ngerasa kalo lo ga sendirian. Lo masih punya gue, Al.

Alinnia Kinara Wijaya. Gadis yang sudah ditinggalkan ayahnya sejak berusia 10 tahun itu didiagnosa mengalami Bipolar Disorder —gangguan psikologis yang ditandai dengan adanya perubahan suasana hati secara drastis.

Sejak usia 15 tahun dirinya sering melakukan self harm dengan menyayat pergelangan tangannya menggunakan cutter mini.

Sherra-lah yang berhasil menghentikan Alin melakukan banyak suicide. Apapun yang Alin lakukan selalu mendapat dukungan dari Sherra, dengan catatan Alin tidak boleh melukai dirinya sendiri.

Tapi dunia memang sedikit kejam, setelah memutuskan berhenti menyakiti dirinya sendiri. Alin malah mencintai lelaki yang sering menyakiti dirinya.

Jovanka Aryatama, ketua geng motor dari SMA Swasta Bina Bangsa.

Jika dilihat sekilas, Alin dan Jovan memang terlihat serasi. Jovan dengan berbagai ketenarannya mendapatkan Alin yang bak seorang princess.

Tapi kenyataannya, Jovan hanyalah lelaki kasar yang sering bermain tangan dengan pacarnya sendiri.


Yuk bantu up cerita Aries biar bisa patah hati bareng-bareng👀

ehh engga deng candaa🙊

ARIES [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang