Ting.. Nong..
Bunyi bel sebuah apartemen mewah dengan nomor unit 311 itu. Sang pemilik yang masih menggunakan jubah mandi berjalan ke arah pintu.
"Hai sayang", sapa seorang gadis berpakaian serba minim dihadapan Revan.
Lelaki itu hanya tersenyum kecil sambil menarik gagang pintu mempersilahkan Erika masuk.
"Tumben gak nelpon dulu?", tanya Revan dengan suara berat khasnya.
"Hehehe sengaja ngasih suprise", tangan Erika mendarat indah ditubuh kekar Revan memeluknya dari belakang.
Satu tangannya digunakan untuk mengusap lembut perut kotak-kotak lelaki di hadapannya itu.
Revan yang seperti sudah terbiasa dengan aktivitas ini hanya merespon tenang. Satu tangannya berusaha melepaskan pelukan Erika, sedangkan satu tangan lagi digunakan untuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
Erika yang tidak kehabisan akal kini mendorong pelan tubuh Revan agar terduduk disebuah sofa. Dengan sigap dirinya menduduki paha lelaki itu.
Revan lagi-lagi hanya tersenyum atas kelakuan gadis yang saat ini berstatus sebagai pacarnya.
Manik hitam Erika menangkap suatu hal ganjil diwajah Revan. Dahinya mengernyit. Dengan satu tangan diarahkan ke bagian tulang pipi Revan yang berhiaskan plaster kekanak-kanakkan itu.
"Ini apa, Van?"
Revan reflek menepis tangan Erika.
"Jangan dipegang!", sahutnya dengan nada yang sedikit meninggi.
Erika yang kaget berusaha mengendalikan mimik wajahnya. Jika hal kecil ini dipermasalahkan, maka rencananya untuk 'mendapatkan' Revan malam ini akan gagal.
"Gue hari ini parfum baru", bisik Erika tepat di telinga Revan.
Lelaki itu hanya tersenyum simpul sambil menganggukkan kepalanya. Memang beginilah cara Revan merespon pacarnya selama ini. Tidak peduli seberapa keras usaha Erika untuk menggodanya.
Sedangkan Erika yang merasa tidak mendapat respon sesuai, langsung menjalankan plan B. Mulut Erika dengan cepat menyambar bibir tebal Revan. Melumatnya dengan agresif dengan tujuan membuat Revan tergoda.
Mendapat perlakuan seperti itu tentu saja pria normal seperti Revan dengan senang hati menyambutnya. Membalas tiap lumatan Erika. Dengan tangan yang kini sudah bertengger apik di pinggang pacarnya itu.
Merasa diladeni, Erika mengambil kesempatan berikutnya. Tangan gadis itu mulai meraba tepat di depan jantung Revan, terus turun hingga merasakan perut sixpack itu tanpa melepas ciumannya.
Dengan berani tangannya berusaha turun lebih jauh menggapai sesuatu yang penting ditubuh Revan.
Merasakan hal itu, Revan dangan reflek melepaskan ciumannya sepihak. Mendorong ringan pundak Erika, kemudian menatap tajam.
"Lo ngapain, Er?", tegas lelaki yang tidak habis pikir itu.
Erika membalas tatapan Revan dengan kecewa.
"Kita udah satu tahun pacaran, Van. Dan lo masih gak mau ngapa-ngapain gue"
Revan menghela nafas kasar. Tangannya membawa tubuh Erika agar turun dari pangkuannya. Tanpa membalas ucapan gadis itu, Revan beranjak dari sofa.
Melihat Revan yang tidak membalas protes darinya, Erika semakin meninggikan suara.
"Jalang mana yang berhasil muasin lo sampe lo gak mau sama gue, Van?!"
"Gak ada! Gue gak pernah nyentuh cewe lebih dari bibir!!", bentak Revan.
Mata Erika mulai berkaca-kaca. Disatu sisi ia senang dengan jawaban Revan, namun disisi lain ia kecewa karena jawaban itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIES [on going]
Teen Fiction𝚂𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛 𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊. -𝚕𝚢𝚐𝚜𝚜𝚖 [SEBAGIAN PART DIPRIVASI, FOLLOW SEBELUM BACA YAA] "Kita emang nggak bisa bersama, Van. Dari awal. Dan kamu tau itu.." "Kamu egois, She." "Iya, kita...