Ketiga lelaki yang selalu menjadi sorotan di sekolahannya itu berjalan santai ke arah parkiran.
"Gue nebeng dong, Van. Gak bawa mobil nih", pinta Dimas.
Revan hanya melirik santai, "Gue bawa motor".
"Ya boncengin gue kek", Dimas semakin merengek.
Pemilik motor sport merah itu reflek menoleh dengan tatapan aneh. Ia mengerutkan dahinya tanda merasa jijik.
"Terus lo mau kita satu motor berdua?? Di jok sekecil itu?"
"Ya emang kenapa?", kekeuh Dimas yang benar-benar ingin diantar pulang.
"Gue gak mau benda yang tidak seharusnya nempel jadi nemplok di badan gue, Dim. Sorry", tegas Revan sambil melongos pergi.
Yang benar saja. Revan memang tidak pernah menyentuh perempuan. Tapi membayangkan tubuh bagian belakangnya ditempeli oleh laki-laki membuat bulu kuduknya berdiri.
Belum selesai usaha Revan mati-matian mengusir Dimas, ia sudah terperangah kaget melihat helm diatas motornya hilang.
"Bangsat! Helm gue ilang", gerutu Revan dengan wajah tidak percayanya.
Dimas yang mendengar hal itu lantas tertawa puas.
"Lagian tu helm gak lo kunci emang?", tanya Dimas mengejek.
Revan memutar kembali memorinya pagi tadi. Ia mengingat kejadian dimana helm itu dilemparnya sembarang demi mengejar seorang gadis.
Tanpa sadar Revan tersenyum mengingat kejadian itu.
"Ah sengaja gak gue kunci. Amal buat yang nyolong", kalimat tidak masuk akal keluar dari mulut Revan yang masih tersenyum membayangkan kejadian tadi pagi.
Dimas mengerutkan dahinya, mendekati wajah temannya yang seperti sedikit gila itu. Kemudian menepuk pelan pipi Revan.
"Sadar, Van. Sadar"
Revan mengerjap memulihkan kesadarannya. Mimik wajah senyumnya seketika berganti melihat wajah Dimas dihadapannya.
"Minggir, anjing!" sewot Revan sambil mendorong Dimas agar menjauh dari motornya.
Motor sport itu melaju dengan kecepatan sedang seperti biasa. Revan sengaja langsung pulang ke rumah karena nanti malam adalah jadwal untuk kumpul bersama geng-nya.
***
Sherra duduk disofa ruang tamu dengan mata yang fokus menonton kartun kesayangannya. Sesekali dirinya menimpali obrolan dari sang kakak yang duduk disofa sebelah sambil mengerjakan project-nya pada sebuah laptop.
"Kak Nay gak bikinin Sherra makan malem?", tanya gadis dengan kaos oversize biru itu.
"Gojek aja deh. Kakak dikejar deadline nih", sahut perempuan disebelahnya lagi.
"Ih, Kak Nay harusnya beliin Sherra makanan pas pulang kerja tadi", bibir Sherra mengerucut gemas.
Dirumah ini memang hanya ada Sherra dan Naya. Orang tua mereka tinggal dikota berbeda. Naya membeli rumah ini tiga tahun lalu dengan hasil kerjanya. Sejak saat itu Sherra dan Naya tinggal terpisah dari orang tua.
Meski sering kali beradu mulut, Naya tetap menjadi manusia terfavorit bagi Sherra. Kakak yang mengerti bagaimana melatih emosinya tumbuh dan berkembang.
Drtt.. Drrtt..
Ponsel Sherra berdering. Gadis itu dengan cepat meraih ponselnya. Tertera nomor tidak dikenal pada layar tersebut. Dengan ragu Sherra menggeser logo telepon itu ke arah bagian warna hijau.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARIES [on going]
Teen Fiction𝚂𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛 𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊. -𝚕𝚢𝚐𝚜𝚜𝚖 [SEBAGIAN PART DIPRIVASI, FOLLOW SEBELUM BACA YAA] "Kita emang nggak bisa bersama, Van. Dari awal. Dan kamu tau itu.." "Kamu egois, She." "Iya, kita...