—Sherra's Pov—
Aku sudah berdiri di depan pintu rumah dengan gaun hitam polos selutut dan tas kecil ditanganku.
"Ayo Kak Nay, buruan!", teriak ku pada seseorang yang masih sibuk menyiapkan perlengkapannya.
"Iya iyaa, ini keluar", sahut Kak Naya yang berjalan cepat ke arah ku.
Hari ini tanggal 18 April, angka yang selalu dilingkari oleh Kak Naya pada setiap kalender di rumah.
Peringatan Kematian orang tua ku.
Aku bahkan tidak terlalu jelas mengingat bagaimana wujud dua sosok yang membuat ku lahir itu, tapi Kak Naya tidak membiarkan ku melupakan mereka. Meski bukan orang tua kandung Kak Naya.
Konon katanya, orang tua ku meninggal pada saat usia ku 3 tahun akibat sebuah kebakaran yang terjadi di rumah kami. Dan hanya aku yang berhasil diselamatkan. Ntah keberuntungan atau apa, yang pasti artinya Tuhan meminta ku untuk hidup lebih lama lagi.
Dua tahun setelah aku hidup di panti asuhan, keluarga Kak Naya datang dan mengadopsi ku. Saat itu lah hidup ku yang bergenre thriller berubah jadi mellow drama.
Keluarga ini menyayangi ku seperti anak mereka sendiri. Terutama Kak Naya. Manusia favorit ku sejak pertama kali kami bertemu.
"Dek, ayo! Malah ngelamun. Kesiangan nih", tegur Kak Naya yang sudah bersandar apik di jok mobilnya.
Aku tersentak kaget kemudian berlari kecil menuju mobil putih itu.
Kak Naya langsung melajukan mobilnya setelah aku masuk ke dalam.
"Nanti gak papa kan pulang sendiri? Kakak kasih ongkos banyak deh. Soalnya bener-bener kepepet", ujar Kak Naya dengan tangan yang masih fokus mengemudi.
"Tapi ongkosnya banyakin", sahut ku dengan bibir mengerucut.
Kak Naya terkekeh lega sambil menyentil pelan dahi ku.
Beginilah memang hubungan ku dan Kak Naya. Aku tidak bisa menunjukkan sisi diri ku yang seperti ini selain dengan wanita di samping ku.
Jika boleh dikatakan, satu hal yang aku syukuri karena tidak meninggal bersama orang tua ku adalah bisa bertemu dengan Kak Naya.
Kami menikmati perjalanan ke pemakaman yang cukup jauh, ini lah alasan Kak Naya harus langsung berangkat ke kantornya tanpa bisa mengantar ku pulang terlebih dahulu.
Setelah menempuh sekitar satu jam perjalanan, mulai terpampang pemandangan lahan luas dengan banyak batu nisan di dalamnya.
Kak Naya menghentikan mobilnya perlahan pada tempat parkir yang disediakan. Sedangkan aku sibuk mengambil bucket bunga yang akan aku letakkan diatas pemakaman.
Aku dan Kak Naya berjalan menuju tempat yang sudah tidak asing karena selalu kami kunjungi setiap tahunnya. Terlihat dua buah nisan berdampingan yang sudah dibersihkan oleh penjaga makam.
Kak Naya berlutut dihadapan nisan itu.
"Om, tante. Sherra dateng. Sekarang umurnya udah 18 tahun. Udah tumbuh jadi gadis cantik. Makasih banyak udah nitipin Naya adik kecil yang lucu", tutur Kak Naya dengan suara bergetarnya.
Aku hanya diam dan ikut berlutut disamping Kak Naya. Meletakkan bucket bunga besar ditengah dua makam itu. Mata ku terus memandangi sebuah bingkai foto yang tergambar dua orang dewasa dan seorang bayi.
Mungkin jika bukan dengan Kak Naya, aku sudah lama melupakan makam ini. Termasuk dua nisan yang ada di hadapan ku.
Setelah beberapa menit mengirim doa. Kak Naya beranjak dari duduknya.
"Kakak duluan yaa. Kamu jangan pulang kesorean", ujar Kak Naya sambil menyodorkan tujuh lembar uang seratus ribuan.
Aku mengangguk paham sambil menerima uang itu dengan senang hati.
"Kak Nay ati-ati, jangan ngebut", tutur ku dengan wajah serius.
Kak Naya hanya tertawa sambil mengacak pelan pucuk kepala ku.
Aku memandangi punggung kakak perempuan ku yang perlahan menjauh. Jika ibu ku masih hidup, mungkin kah ia akan terlihat indah seperti Kak Naya?
Mata ku menyoroti sekeliling pemakaman luas yang cukup sepi. Hingga akhirnya aku beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan kedua orang tua ku sendirian (lagi).
Langkah kaki membawa ku menyusuri sekitar pemakaman yang tampak rapih dan bersih itu. Aku memutuskan duduk disebuah kursi semen di pinggir pemakaman. Menikmati cuaca cerah berawan yang tergerai indah diatas kepala ku.
Aku mendongak, menatap langit, memandang setiap pergerakan kecil dari sang awan. Tiba-tiba sesuatu yang kecil jatuh tepat diatas kelopak mata ku. Aku mengerjap, merasakan benda itu. Ah, gerimis.
Langit mungkin sama bimbangnya dengan ku. Cerah dan gundah disaat bersamaan. Aku sempat berpikir untuk pergi dan mencari tempat teduh. Tapi awan indah yang perlahan meluruhkan dirinya itu membuat tubuh ku terpana. Aku hanya diam menikmati rintik gerimis dibawah cuaca terang itu.
Mata ku meremang saat mendapati sebuah bayangan hitam berdiri diatas pandangan ku. Aku tersentak kaget dan menegakkan badan. Berusaha mencerna sosok itu.
"Revan?", gumam ku saat melihat orang yang aku kenal.
Lelaki dengan setelan jas dan kacamata serba hitam itu tengah berdiri memegang sebuah payung yang berusaha meneduhkan ku.
"Stop basah-basahan. Gue capek liatnya", sahut Revan dengan santai mendapati tubuh ku mulai basah terkena hujan.
"Lo ngapain disini??"
Aku masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat ini.
Grebb
Tangan besar itu menarik pergelangan tangan ku dan membawa ku kebawah gubuk kecil tempat penjaga makam biasa duduk bersantai.
Aku masih terus memandang lelaki itu tidak percaya. Apa yang dilakukannya disebuah pemakaman? Apakah keluarganya juga dimakamkan disini?
Revan menghela nafasnya, "Hufft, gue manusia"
Aku sontak mengalihkan pandangan.
"Emang siapa yang bilang lo setan?", sahut ku.
"Lo ngeliat gue kaya ngeliat arwah"
Percakapan berhenti. Terdengar rintik gerimis yang menjadi hujan jatuh diatas genting gubuk itu. Pemakaman yang didominasi rumput hijau menjadi indah berseri.
"Lo ngapain disini?", tanya ku pada sosok yang duduk dengan tenang di samping ku.
"Nyamperin dua cewe kesukaan gue", jawabnya santai.
"Siapa?"
"Nyokap gue"
Aku tertegun mendengar jawaban itu. Tidak ku sangka seorang bandit yang terlihat memiliki segalanya dalam hidup ternyata adalah anak yang ditinggal oleh ibunya.
"Satunya lagi?", tanya ku penasaran.
"Lo"
Jawaban yang membuat ku diam tak berkutik. Apa maksudnya? Benar-benar jawaban yang tidak bisa ku cerna.
Aku masih kagum dengan sosok disamping ku. Tanpa sadar tangan kanan ku bergerak menuju pundak lebarnya kemudian menepuk-nepuk benda kokoh itu.
Revan terlihat kaget dan reflek menoleh ke arah ku. Dua pasang manik kami saling bertatapan. Makin dalam, dengan penuh arti yang sulit dijelaskan. Tangan kirinya mengambil tangan kanan ku yang masih berada dipundaknya.
"Jangan gini lagi kalo lo gak mau gue peluk", tutur lembut lelaki itu yang membuat mata ku jatuh lebih dalam ke dasar pandangannya.
Aku sontak menarik tangan ku saat tersadar. Jantung ku terasa berdebar lebih cepat dari biasanya. Padahal tidak dalam kondisi kaget. Sensasi baru yang aku rasakan membuat tubuh ku bingung harus bereaksi seperti apa.
Hari ini, aku berhasil mengizinkan seorang lelaki satu langkah lebih masuk ke dalam hidup ku.
Hayooo... Belum vote comment yaaa 😡

KAMU SEDANG MEMBACA
ARIES [on going]
Teen Fiction𝚂𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛 𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊. -𝚕𝚢𝚐𝚜𝚜𝚖 [SEBAGIAN PART DIPRIVASI, FOLLOW SEBELUM BACA YAA] "Kita emang nggak bisa bersama, Van. Dari awal. Dan kamu tau itu.." "Kamu egois, She." "Iya, kita...