Alexithymia

948 58 2
                                    

Pandangan ku terhenti pada segerombolan lelaki dengan seragam sekolah yang tampak sama dengan ku.

"Bangsat! Dim angkut dim!", ujar salah satu lelaki yang terlihat seperti merasa sedang dipergoki.

Aku hanya menatap datar, berusaha membaca suasana. Tiga orang sedang berdiri dengan rokok dimasing-masing tangannya. Satu orang sedang berlutut dengan raut wajah berantakan. Ah, bullying.

Tak ingin berlama-lama melihat mereka, aku pun mengalihkan pandangan untuk meneruskan perjalanan. Sampai tiba-tiba sebuah tangan kasar menarik lenganku dengan paksa.

Seketika aku berbalik, aku melihat sosok tak asing sedang berdiri tegap dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Enak aja lo main pergi! Kita bikin kesepakatan dulu", lagi-lagi orang ini mengeluarkan kalimat yang tidak bisa ku pahami.

Aku menghela nafas panjang tanpa memberikan sebuah jawaban. Kini pandangan keempat lelaki tersebut fokus tertuju pada ku. Aku mengedipkan mata beberapa kali, berusaha mencerna suasana. Apa sih ini? batin ku.

Tiba-tiba terdengar suara lelaki dari balik kerumunan tersebut. Aku sedikit mencondongkan kepala untuk mencari arah suara serak yang khas itu. Dan benar saja, terlihat sosok berbadan tinggi dengan raut wajah tenang dan tatapan tajamnya.

"Udah biarin aja, dia gak bakal buka mulut", ujar sang lelaki yang tengah duduk diantara para bandit ini.

"Lo yakin, Van?"

"Gue jaminannya", mimik wajah tenang tapi aku yakin di dalamnya penuh dengan keangkuhan.

Aku menarik salah satu sudut bibir ku sembari melirik tampang familiar tersebut. Yap, aku mengenalnya. Revan atau Evran, ah ntahlah. Yang pasti aku sudah tidak asing dengan wajahnya sejak bertahun-tahun lalu.

****

"Sherra woy woy woy! Lo tau ga, si Gibran punya pacar baru woy", oceh seorang gadis yang dengan antusias menceritakan ke-random-an sepagi ini.

Gadis berambut panjang dengan lesung pipi itu adalah satu-satunya orang yang mau bersahabat dengan ku. Ya, Alin. Kami saling mengenal sejak SMP dan anehnya masih berteman hingga sekarang.

Aku meliriknya sekilas dengan buku catatan kecil yang masih bertengger ditangan ku. "Terus?", tanya ku santai. Ah, aku bukan mengabaikannya. Memang beginilah cara ku merespon siapapun.

"Ya lo bayangin aja, Gibran baru putus dua hari dan sekarang udah jadian sama yang lain anjir! Sumpah ya gua cuma kasian sama Andin", celoteh Alin yang hanya membuat ku menopang dagu sambil memperhatikan tiap ekspresinya.

Melihat kelakuan ku, Alin malah terkekeh geli. "Lo bingung lagi ya? Gua sekarang lagi kesel, She. Enggak sih, lagi kecewa. Eh- lagi kaget ajaa. Ah pokoknya gitu deh", jelas Alin yang hanya ku balas dengan anggukan kepala.

Inilah alasan hanya Alin yang mau berteman dengan ku. Aku sedikit memiliki kesulitan dalam memahami emosi, dan tentunya sulit juga untuk mengekspresikannya.

Ntah kapan tepatnya, yang pasti sejak aku dibawa ke sebuah Rumah Sakit 10 tahun lalu, orang tua angkat ku mengatakan bahwa aku mengalami Alexithymia (sebuah kondisi dimana individu kesulitan dalam mengenali dan menyampaikan emosi).

Sejak saat itu aku selalu membawa buku catatan kecil yang ditulis oleh kakak ku. Pada bagian sampul terukir tinta dengan sangat cantik bertuliskan "Sherra Moanna".

Sedih; saat hal buruk menimpa mu
/menangis/

Marah; saat kamu merasa tidak adil
/berteriak atau memaki/

Aku membaca catatan itu hampir setiap hari dengan harapan suatu saat aku bisa merasakan apa yang Alin rasakan saat terjebak macet, menuang terlalu banyak saos pada semangkuk bakso, atau saat Pak Aryo menghukumnya.

Tentunya sejak sepuluh tahun terakhir aku berhasil membuat sedikit progress pada hidup ku. Aku sudah mampu memahami emosi-emosi sederhana. Meski tidak sekompleks yang lainnya.


Hi readers..

Karena ini cerita pertama ku, tag kalau ada typo yaa...

Jangan lupa vote dan comment💗

ARIES [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang