"Gue langsung tunggu di kantin ya, She" teriak Alin dari dalam kelas.
Aku menggangguk paham dengan sekantong penuh sampah ditangan kiri ku. Yap, hari ini adalah jadwal piket ku yang artinya aku harus membuang sampah ke bagian belakang gedung sekolah.
Aku melangkah santai menuju tempat pembuangan, tempat yang cukup sepi. Biasanya digunakan anak-anak untuk bersembunyi dari razia atau melakukan pelanggaran.
Telinga ku menajam saat mendengar suara samar-samar dua orang yang seperti sedang berdebat. Kaki ku terus berjalan mendekati sumber suara.
Plakk.
Terlihat seorang pria paruh baya menampar siswa dengan sekuat tenaga. Aku membelalakkan mata, berusaha mengamati siapa dua sosok itu. Sampai radar ku mulai mengenali salah seorang diantaranya. Revan?, gumam ku.
"Harusnya papah buang kamu dari dulu! Kamu sama gak bergunanya kaya mamah kamu!!", bentak pria dengan jas rapih yang ternyata adalah ketua yayasan itu.
"Pah!!", nada tinggi Revan berhasil mengejutkan ku.
Satu tangan ku reflek melepaskan kantong sampah yang aku pegang hingga menghasilkan suara nyaring. Aku terperanjat melihat dua orang itu menatap ke arah ku.
Ketua yayasan yang dikabarkan mengunjungi sekolah pagi ini pun terlihat kaget. Beliau pergi meninggalkan putranya tanpa sepatah katapun.
Pria dengan seragam sekolah itu mengusap kasar rambutnya sendiri dan berjalan ke arah ku. Sorot mata tajamnya membuat ku mematung, seolah terhipnotis dalam pandangannya.
Aku masih terperangah tidak menyangka atas apa yang ku lihat. Pandangan ku menatap Revan dengan seragam berantakan dan bekas darah di sudut bibirnya.
Kini lelaki itu sudah berdiri tepat di hadapan ku, dengan raut wajah yang sangat sulit diartikan. Seperti marah, namun di matanya seperti ada kesedihan. Ah, sangat rumit.
Aku mengangkat tangan kanan ku, mengusap lembut darah di bibirnya. Bukankah ini terasa sangat perih?, batin ku dengan mata yang masih fokus memandang wajah kacau itu.
Revan menahan tangan ku. Berusaha memfokuskan mata ku pada manik cokelatnya.
"Gue udah bilang jangan gini, berarti lo yang minta", suara beratnya mendarat indah di telinga ku.
Grebb.
Tubuh kekar itu mendekap ku dengan tiba-tiba. Membuat ku beku beberapa saat. Aku yang sadar langsung berusaha mendorong tubuh kokohnya itu. Tapi nihil. Pelukannya jauh lebih erat dari pada dorongan ku.
"Van, lepasin!" ujar ku sambil terus memberontak.
Lelaki itu tak bergeming. Aku bisa merasakan wajahnya menelusup pada leher jenjang ku.
"Kenapa lo harus liat kelemahan gue?", tuturnya dengan suara sedikit bergetar.
Aku menyadari bahwa mungkin saja pria ini hanya butuh penenang, dan kebetulan yang ada disini hanyalah aku.
Telapak tangan ku mulai menepuk-nepuk pelan punggung yang mampu menutupi seluruh bagian tubuh ku itu. Ntah apa yang aku pikirkan, yang pasti saat ini aku hanya akan berusaha menenangkan pria malang di hadapan ku.
"Pengumuman-pengumuman", suara dari speaker yang terdengar keseluruh penjuru sekolah itu memecahkan suasana diantara kita.
Revan melepaskan pelukannya. Aku yang merasa canggung kemudian mengambil langkah mundur, membawa bola mata ku bergerak gugup.
Lelaki dihadapan ku itu tersenyum simpul melihat pipi ku yang memerah. Dia menjajarkan wajahnya tepat di depan mata ku.
"Gue baru tau kalo lo bisa salting", ucapnya sambil terkekeh menggoda ku.
Aku memicingkan mata, menatap sinis ke arah Revan. Sempat-sempatnya dia meledek ku.
Setelah urusan di tempat pembuangan sampah selesai. Aku kembali ke area kelas, dengan Revan yang berjalan lebih dulu di depan ku.
"Tenang aja, gue gak bakal buka mulut", ucap ku sedikit gugup.
Lelaki di hadapan ku itu berjalan santai tanpa menoleh.
"Buka aja. Bakal lebih enak kaya nya", jawabnya tenang yang membuat ku menggaruk kepala.
"Apa yang lebih enak?", tanya ku bingung.
HA HA HA HA HA.
Revan tertawa puas mendengar pertanyaan ku. Aku semakin mengerutkan dahi. Apakah di tempat pembuangan sampah terdapat banyak jin?
Langkah Revan terhenti, aku mengamati situasi. Ah, aku sudah berada di depan kelas ku. Revan menoleh ke arah belakang, menatap ku sekilas sambil memberi kode menyuruh ku untuk masuk.
Aku merogoh saku rok ku, mencari benda kecil di dalam sana.
"Sini tangan lo", titah ku sambil mengeluarkan benda yang berhasil ku cari.
Revan dengan patuh mengulurkan tangannya. Aku meletakkan sebuah plaster bergambar goofy biru di telapak tangan lebar itu. Sambil menunjuk pipinya yang tergores akibat pukulan keras tadi.
Lelaki itu terkekeh lagi untuk kesekian kalinya
"Makasih, tar gue pake. Walaupun ngancurin harga diri gue, hahaha" sahut Revan sambil mengacak pelan rambut ku.
Revan kemudian melanjutkan langkah menuju kelasnya.
—Author's Pov—
Teng.. Teng..
Bel pulang SMA Swasta itu berbunyi. Revan merapihkan semua barangnya ke dalam tas. Dilihatnya sebuah plaster biru lusuh terselip diantara buku-buku pelajaran.
Ah, dia baru ingat. Beberapa jam tadi ada seorang gadis lucu memberikan plaster untuk menutupi lukanya. Tanpa pikir panjang lelaki itu menyalakan kamera ponsel untuk berkaca kemudian menempelkan plaster itu diatas pipinya yang tergores.
Revan berjalan menuju parkiran seorang diri, kedua temannya bolos pelajaran terakhir dan ntah pergi kemana.
"Woy, Van!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar.
Kedua bocah itu mendekati Revan yang sudah duduk diatas motornya. Tatapan mereka terlihat sangat aneh.
"Anjing! Itu apaan di muka lo?", kaget Dimas sambil menyentuh plaster yang menempel indah di wajah Revan.
Revan menepis kasar tangan temannya itu.
"Menurut lo apa? Sertifikat tanah??", sinis Revan.
"Lo abis dari ngapain anjir? Mampir ke sekolah TK?", cetus Arga yang masih bingung dengan kelakuan tidak biasa dari temannya itu.
"Titisan setan kaya lo berdua gak bakal ngerti ini apaan–"
Revan tersenyum bangga sambil mengusap plaster biru itu dengan telunjuknya.
"Ini jimat keberuntungan hahaha", kekeh Revan yang kemudian langsung menarik gas untuk melajukan motornya.
Meninggalkan dua sejoli yang sangat bingung melihat Revan. Tampak seperti orang kesurupan.
Vote dan comment jangan lupaa dong bestie...
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIES [on going]
Fiksi Remaja𝚂𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛 𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊. -𝚕𝚢𝚐𝚜𝚜𝚖 [SEBAGIAN PART DIPRIVASI, FOLLOW SEBELUM BACA YAA] "Kita emang nggak bisa bersama, Van. Dari awal. Dan kamu tau itu.." "Kamu egois, She." "Iya, kita...