03. Tak Sekuat Itu (2)

296 25 1
                                    

Chapter Unlocked🔓
.
.
.
.

Iva tertawa remeh. "Lo punya masalah apa sama gua, hah?!" bentaknya mendorong bahu perempuan itu.

Alih-alih merasa takut atau pun gentar, lawannya malah menanggapinya dengan santai.

"Nothing, cuma ngomong fakta sebenarnya."

"Bacot! Lo sengaja nyari masalah sama gua 'kan? Buat apa? Mau caper? Bitch!"

Emosi Iva kian menjadi. Bahkan tangannya kini mencengkram kaus olahraga milik Moza--panggilannya. Hal itu membuat Lily kalang kabut, kalau sampai kejadian Iva kelepasan memukuli siswa lain, maka ruang BK akan menjadi persinggahan Iva untuk yang kesekian kalinya.

Apalagi jika ayahnya Iva tahu, entah hukuman apalagi yang akan Iva terima.

"Va, udah! Jangan diladenin, dia sengaja mancing emosi lo," peringat Lily sambil menarik lengan Iva.

Moza terkekeh, kemudian menepis tangan Iva yang mencengkram kausnya dengan kasar. Bahkan handuknya nyaris terjatuh kalau saja tidak cepat-cepat ia pegang.

Sesuai dugaannya, Ivanka dikenal temperamental.

"Tanpa sadar, lo udah buktiin kalo omongan gue itu bener," bisiknya. Kemudian berlalu menuju lapangan.

Iva mengepalkan kedua tangannya sampai-sampai buku jarinya memutih. Sungguh, apa maksud perempuan itu mempermainkan emosinya? Iva tak paham, membuat ia sangat membencinya.

Andaikata Lily tak menahannya, mungkin ia sudah berakhir menampar Moza tadi.

"Gue bawa pengaruh buruk, ya, Ly," lirih Iva tanpa menatap Lily sedikit pun.

Dengan cepat Lily menggeleng. Tangannya menepuk bahu sang sahabat, sembari tersenyum tulus, Lily menjawab, "gak usah dengerin si lambe turah. Dia gak tau apa-apa tentang lo, makanya lemes banget kalo gak ngehujat. Lagian, nih, ya kita udah sahabatan jauh itu lama banget, Iva, sejak zigot malah. Jadi stop mikir aneh-aneh oke? Kalo emang gue ngerasa demikian, gak bakal kita temenan sampe sejauh ini."

Cukup lama Iva terdiam, memahami baik-baik jawaban Lily. Dia benar, mereka bersahabat jauh lebih lama dari yang orang-orang pikirkan, bahkan sebelum mengenal Arthur. Iva tak pernah memiliki teman selain Lily juga mantannya itu.

"Kayak gak tau aja si Mozarella sifatnya kayak gimana. Udah kuning, gampang mleyot lagi---"

"AAAAAA MAKASIH BESTIE!"

"WOYLAH LU MAU BIKIN GUE MATI MUDA! SESEK IVANKA BINTI PRASTIO!"

Dasar Iva, temennya udah ngap-ngapan kehabisan nafas, bukannya dilepas malah makin dipeluk. Mending kalo meluknya badan, ini leher! Kan bikin gemes pengen nabok.

***


Duduk sendirian nyatanya enggak seenak bayangan. Pasalnya, handphone yang seharusnya menyala malah mati karena lowbat. Mau ngobrol pun tak bisa, soalnya sama siapa? Plis, ya Iva bukan anak indigo yang bisa komunikasi sama makhluk beda dimensi.

Lagian murid mana yang mau temenan sama dia? Yang ada pansos doang.

Dari pinggir lapangan, Iva cuma memperhatikan sekumpulan anak paskibra latihan. Salut dia, padahal cuacanya panas banget, loh. Jalan ke sana- ke mari membawa alamat---baris-berbaris maksudnya di saat keringat membanjiri.

Namun ada satu hal yang baru Iva sadari adalah, kakak kelasnya blasteran surgawi semua, woylah! Proporsi badan yang nyaris sempurna, kulit gelap alami yang tercipta selama latihan, serta pakaian yang selalu rapi dikenakan, sukses membuatnya lupa daratan. Sampai-sampai dia melupakan fakta, dengan betapa tegasnya seorang senior paskibra saat melatih para juniornya.

SKÈOLOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang