Chapter Unlocked🔓
.
.
.
.Juna tak menjawab, tetapi bibir alami miliknya jelas tengah melengkungkan senyuman miring. Meski hal itu tak merubah pandangan Iva terhadapnya, yang tetap setia melayangkan tatapan tajam. Tidak, Juna tidaklah gila. Hanya saja ia tak mengerti, dari mana Iva bisa menyimpulkan hal tersebut.
"Dengan alasan apa lo nuduh gue demikian?" tanya Juna.
Terdengar Iva berdecih. Tangannya terlipat di depan dada. "Apalagi? Ngeliat cara lo yang bersikeras nahan gue buat di sini, udah lebih dari cukup buat jadi bukti kalo lo emang berusaha lindungin dia," jawabnya lugas.
Lagi-lagi Juna tertawa. "Konyol.""Apa?"
"Jangan samain gua dengan mantan lo itu, emang gua keliatan kayak cowok bucin yang rela mati demi gebetannya, hm?"
Iva tak membalas, membuat senyuman Juna kian lebar.
"Btw helm gua mana?"
***
Hari terasa berjalan begitu lambat menurut Ivanka. Entahlah, mungkin karena seharian menjadi murid teladan belum terbiasa dirinya lakukan. Lihat saja raut wajah lelah dengan kantung mata menggelambir itu. Beberapa kali Iva menguap, tak kuat menahan kantuk.
Jiwa membolosnya berulang kali menggelora, tetapi Iva mengurungkan niatnya tatkala menemukan sosok Juna tengah mengawasinya. Menyebalkan, pemuda tengik itu tak akan pernah membiarkannya lolos lagi. Lily--sahabatnya pun tampak telah memihak Juna. Entah apa yang membuat Lily mendadak patuh dengan instruksi si ketua kelas.
Di sinilah Iva sekarang, berkutat dengan ruangan yang tak pernah terlintas akan dikunjunginya.
Perpustakaan kota.
Juna benar-benar mengikuti daftar jadwal itu dengan baik. Ralat, kelewat baik malah.
Netranya melirik keberadaan Juna, duduk terhalang meja tengah pokus membaca buku. Mata sipit memandang tajam, bibir merah muda tampak menawan, hidung lancip bak perosotan. Sungguh Maha karya Tuhan yang tiada bandingan.
Tunggu, apa?
Iva menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menepis berbagai pikiran aneh. Walaupun Iva enggak bisa bohong kalau Juna masuk dalam kategori cowok ganteng idaman. Tapi tetap saja, kelakuan human satu itu jauh lebih menyebalkan.
"Gak usah diliatin, bikin lo jatuh cinta bukan tanggung jawab gua."
Apa Iva bilang barusan, tingkat nyebelin Juna itu udah level akut maksimal. Makanya Iva sempet protes sama Lily yang percaya banget kalo Juna tipikal cowok kalem nan bijak. Kenyataannya, tiap keduanya berdekatan Iva selalu kepingin banget ngelempar sesuatu ke mukanya Juna. Contohnya buku ensiklopedia di depannya ini.
Diurungkan niatnya itu, memilih membuka-buka lembaran buku tanpa minat. Mau bagaimana lagi, hobinya bukan membaca. Jadilah ia berujung menyumpal kedua telinganya dengan headshet. Memutar melodi lembut bertema cinta.
Entah di mana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah di sana kau rindukan aku
Seperti diriku yang slalu merindukanmu
Selalu merindukanmu"Pokoknya Arthur nggak boleh pergi!"
Anak laki-laki berseragam merah putih itu tersentak saat merasakan seseorang memeluk punggungnya erat dari belakang. Namun si pemilik nama malah tersenyum, kemudian mencoba melepaskan rangkulan itu lembut.
"Iva nggak bakal lepasin, nanti Arthur mukulin anak itu lagi," ucapnya menolak melepaskan.
"Kenapa? Dani 'kan udah bully kamu. Kamu enggak mau dia dapet balesannya?" Kali ini Arthur balik bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKÈOLOVE
Teen Fiction"Mimpi apa gua, kalo sampe bisa suka sama cewek jadi-jadian bau kemenyan kayak si Ijah." "Gua nggak budeg, ya Juned. Mulutnya kok lemes banget, sih? Kek ngode minta dicium pantat kebo. Suka mah suka aja kali, bukannya malah nyari kerusuhan padahal...