08. Dendam Cinta Pertama

217 18 0
                                    

Chapter Unlocked🔓
.
.
.
.

Karena pada dasarnya rasa sakit dan sesak lebih mendominasi di atas segala jenis emosi
.
.
.

"Gue kalah? Hahaha ... kalah, ya? Mustahil ... si Juned ngalahin gue? Beda satu poin doang?"

Lily menatap Iva sangsi, dibilang normal tapi kewarasannya patut dipertanyakan. Padahal Lily sangat yakin, kepala Iva enggak baru aja dicium bola. Karena semenjak pertandingan usai, cewek berusia tujuh belas minus itu duduk di depannya, tengah tertawa dan mengomel di waktu yang bersamaan. Maunya Lily sembur, tapi dia gak bawa air. Siapa tahu butuh jasa rukiyah.

Lagipula, kenapa Iva meremehkan kemampuan Juna. Ayolah, semua murid di kelasnya jelas tahu betul kalau cowok pemilik senyuman menawan itu sangat lihai memainkannya. Ah iya, Lily lupa. Iva 'kan selama ini bodo amat. Masuk kelas aja bisa dihitung dengan jari.

"Ayo."

"Kemana?!" tanya Iva ketus.

"Kepangin rambutnya Flying Dutchman. Ya ke kantinlah!" sahut Lily sewot.

"Ngapain?"

"Ngelusin laki orang."

"Astagfirullah ... dosa, Ly."

"Auk ah laper gue."

Alhasil Lily berjalan pergi sendirian meninggalkan Iva yang terdiam di tempat. Udah gak sanggup dia, takut mati muda. Iva mungkin terkenal dengan image ditakuti di angkatannya, tapi sungguh, Iva 'tuh menurut Lily nyebelin banget. Sampulnya aja yang nyeremin, aslinya bobrok bukan main. Iya Lily akui kalau Iva suka emosian, tapi juga menguji kesabaran. Kalau udah gitu, Lily bakalan senyum, terus cekik lehernya.

Itulah Iva.

Yang hanya menunjukan kepribadian aslinya pada orang-orang terdekatnya.

Iva tertawa cekikikan mendapati Lily yang memilih pergi karena kesal. Dia jadi lupa, pasal kekalahannya tadi. Eits! Tapi dia tetap tak akan terima. Lain kali dirinya bertekad akan mengalahkan pemuda itu hanya dalam satu babak permainan.

Gadis itu berniat akan menyusul Lily ke kantin. Berolahraga tentu menghabiskan cukup banyak sekali tenaga. Bayangan nikmatnya aroma kuah seblak bu Neneng mulai beriklan ria di kepalanya. 

Namun sekali lagi, semesta tak membiarkannya tenang walau hanya sekejap mata.

Karena di saat yang bersamaan, Arthur datang dengan seember air dan menyiramnya di hadapan seluruh siswa SMK Brawijaya.

BYUR!

Dingin.

Adalah hal yang pertama ia rasakan. Guyuran seember penuh air tepat di puncak kepalanya serasa langsung menghujam diri ke titik paling menyakitkan. Memberikan efek rasa sakit pada luka yang bahkan belum sempat mengering. Rasa dingin mungkin tak sebanding dengan seberapa tergoresnya perasaan. Dalam diam, tangannya terkepal, menahan gejolak amarah bercampur kekecewaan yang terus bertumpuk. Menciptakan duri tajam yang kian menyakiti diri.

Hampir semua yang ada di sekitar lapangan memberikan pandangan tak percaya. Bahkan orang-orang yang semula berada di dalam kelas, berbondong-bondong keluar untuk menyaksikan sebuah peristiwa yang sedang panas akhir-akhir ini. Ya, dan benar saja, di tengah lapangan basket, mereka dapat melihat, dua orang yang kini saling berhadapan tanpa sedikitpun adanya aura perdamaian.

"Sekarang kita satu sama."

Seorang pemuda berbadan jangkung berdiri memegang ember hitam. Menatap dingin sesosok perempuan mengenakan kaus olahraga berwarna biru langit. Bibirnya tersenyum puas begitu menyaksikan fenomena menakjubkan yang baru saja dirinya ciptakan. Sebuah tontonan memalukan yang disaksikan puluhan pasang mata. Tentu saja, itu setara dengan apa yang telah orang itu lakukan.

SKÈOLOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang