Chapter Unlocked🔓
.
.
.Mengenakan kaus putih dengan celana training abu-abu, Iva kini sibuk berkutat di dapur bersama Nilam-mamanya Juna. Surai panjangnya sengaja ia ikat cepol ke atas demi memudahkan kegiatannya. Walaupun tugasnya hanya memotong-motong bahan dan mencucinya. Karena sungguh, Iva cuma bisa masak mie instan. Kepalanya suka mendadak ngeblank saat membedakan jenis-jenis bumbu.
"Tolong ambilin Bunda piring, sayang," pinta Nilam.
Dengan gerakan cepat Iva melesat menuju rak piring. Mengambil satu piring berwarna putih untuk tempat capcay. Baru mencium aroma masakannya saja sudah membuat Iva kelaparan, apalagi kalau sampai mencicipinya nanti. Iva takut gak bisa berhenti.
Ngomong-ngomong Nilam memang meminta Iva untuk memanggil beliau Bunda. Katanya biar sama kayak ketiga anaknya, apalagi rumah ini kebanyakan diisi laki-laki. Karena anak tertua mereka yaitu Arum, kini mengikuti langkah suaminya dengan tinggal di luar kota. Udah kayak anak keempat di keluarga Raharja, membuat Iva begitu dimanja bunda Nilam.
Hari ini Kaivan-kakak keduanya Juna pulang setelah tiga bulan lamanya praktik kerja industri di Yogyakarta. Calon koki ini, parahnya gak pernah pulang sekalipun. Selain karena emang jaraknya yang jauhan kayak jodoh, Kaivan pengen belajar merantau katanya.
"Samlekom!"
"Yang bener salamnya, Adek!"
Juna muncul dengan sarung Wadimor yang tersampir di pundak ala bapak-bapak mau ngeronda. Mengenakan kaus putih polos dengan celana boxer abu-abu bergambar logo salah satu klub sepak bola terkenal favoritnya. Peci-nya masih dia pakai, cuma udah mirip kabayan, dengan poni agak panjang menutupi dahi.
Perlu Iva kasih tahu, Juna itu emang ganteng. Karena saking gantengnya, cowok ini sampe nyerempet cantik.
Tapi kalo buat milih siapa yang paling ganteng di keluarga Raharja, kayaknya Iva bakalan milih kakaknya Juna aja.
"Assalamualaikum, Bunda izin nyomot bakwannya, ya," kata Juna sambil mengunyah makanan tersebut.
Perutnya sudah berteriak kelaparan sedari tadi. Maunya, sih dia langsung makan nasi, cuma dia tahan aja biar barengan sama yang lainnya.
Tak berselang lama, muncul om Raharja bersama putra tertuanya. Iva yang sedang membawa piring pun sempat mengumbar senyum sebentar. Tatapannya mengarah pada seseorang yang sudah lama tak dijumpainya tersebut.
Abimana Kaivan Raharja.
Cukup berbeda dengan Kaivan yang Iva terakhir lihat yaitu tiga bulan yang lalu. Jika dulu Kaivan cenderung berkulit eksotis karena keaktifannya di lingkungan organisasi sekolah, maka sekarang Iva menilai Kaivan jauh lebih cerah. Ia hanya menebak, mungkin efek karena pekerjaannya yang kemarin sebagian besar berada dalam ruangan.
Entah akan bertambah berapa banyak jumlah fans Kaivan di sekolah nanti. Mengingat kepopulerannya semester kemarin cukup membuat kebanyakan anak kelas sepuluh mulai mengejar-ngejarnya.
Penampilan Kaivan sekarang juga bikin Iva pangling. Kalau Juna modelan anak ngaji yang kerjaannya cuma main petasan di depan masjid, maka Kaivan adalah perwujudan santri rajin kebanggan para ustad.
"Beuh ... matanya, gemes bener minta dicolok garpu."
Iva mengerjap, sadar ternyata ia terlalu lama menatap sang adam. Netranya beralih memandang Juna sebal. Namun laki-laki itu mendadak buta dengan berpura-pura memakan kerupuk.
"Cemburu lo?"
"Mimpi!"
Setelah menaruh piring di masing-masing tempat, Iva pun duduk. Di sana telah lengkap kehadiran Om Raharja, Tante Nilam, Kaivan dan juga Juna. Iva sendiri duduk di samping Tante Nilam, berhadapan dengan Juna yang terhalang meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKÈOLOVE
Teen Fiction"Mimpi apa gua, kalo sampe bisa suka sama cewek jadi-jadian bau kemenyan kayak si Ijah." "Gua nggak budeg, ya Juned. Mulutnya kok lemes banget, sih? Kek ngode minta dicium pantat kebo. Suka mah suka aja kali, bukannya malah nyari kerusuhan padahal...