06. Sang Pawang

297 23 0
                                    

Chapter Unlocked🔓
.
.
.
.

"Tujuh kali membolos padahal baru minggu ketiga, membully siswa seangkatan tiga orang, tidak berpakaian rapi, dan apalagi ini. Kamu mau menambahi isi buku catatan kenakalan karena merokok? Saya sudah bingung mau menghukum kamu bagaimana lagi, Ivanka." Helaan nafas terdengar berat dari sosok wanita berusia tiga puluh tahunan itu. Tangannya membolak-balikan lembaran kertas yang telah dipenuhi oleh catatan kenakalan dengan frustasi. Jika begini terus menerus, muridnya ini tak akan bisa naik kelas.

Sementara itu murid di hadapannya hanya duduk menunduk sambil memainkan kukunya yang dicat warna hitam mencolok. Seragam putih keluar menutup pinggang, tanpa mengenakan dasi. Menampakan leher putih mulus dengan hiasan kalung menjuntai sampai ke dada. Dia sudah terbiasa keluar masuk ke ruangan bimbingan konseling, dengan alasan yang sama pula. Namun kali ini tampaknya ia benar-benar melewati batas.

Ini adalah kesekian kalinya Bu Yunita berhadapan dengan Iva, bahkan guru muda itu mulai merasa bosan. Semua tegurannya tak siswi itu dengarkan satu pun. Iva akan diminta datang ke ruang BK dengan alasan dan sebab yang sama. Bukan rahasia umum kalau gadis berusia enam belas tahun ini mempunyai hobi bolos. Dan puncaknya, kemarin ia mendapat laporan jika Iva merokok di rooftop.

Suara ketukan pintu mengalihkan atensi dua orang di dalam ruangan senyap itu. Bu Yunita menoleh sembari tersenyum menyambut seorang pria bertubuh tegap yang kini telah duduk di sebelah muridnya. Sebelumnya Bu Yunita memang sudah menghubungi wali murid untuk meminta datang. Lagi.

Bu Yunita mulai membicarakan mengenai alasan kenapa Prastio-ayah Iva diminta datang ke sekolah. Pria paruh baya itu sendiri mendengarkan setiap penuturannya dengan seksama sembari sesekali melirik putrinya yang memilih pasrah sedari awal.

"Saya memutuskan, untuk men-skors Iva selama seminggu," putus Bu Yunita.

Iva tersenyum saat mendengar hukuman yang akan dia terima. Bukannya menyesal, dia malah senang, karena tak perlu datang ke sekolah setiap hari sampai minggu depan.

Sepertinya ia akan memiliki banyak waktu menonton selama minggu ini.

"Dibandingkan skors, saya mendapatkan ide lain untuk menghukum anak saya," ucap Prastio membuat Iva seketika meliriknya. Diam-diam ia berdecak kesal, hal apalagi yang akan papanya lakukan. Apa semua fasilitasnya akan dicabut?

Sungguh, Iva tak ingin tahu. Toh, seburuk apapun ia tak akan bisa membantah.

Tiba-tiba terdengar pintu kembali diketuk, menandakan orang lain akan ikut masuk ke ruangan ini.

"Selamat pagi, Bu ini daftar siswa yang terlambat hari ini."

"Oh, terimakasih banyak, ya, Juna," balas Bu Yunita ramah.

Juna tampak menunduk hormat pada Prastio seusai memberikan laporan pada Bu Yunita. Walaupun ia bisa dibilang akrab dengan Om Tio, Juna tetap tak melupakan tata kramanya. Oh, ya hampir saja ia tak menyadari keberadaan gadis nakal yang duduk di kursi satunya itu.

"Juna, kamu sekelas sama Iva 'kan?"

Siswa laki-laki itu mengangguk dengan ekspresi bingung. Bukannya Om Tio jelas tahu itu.

Prastio tersenyum, kemudian menepuk bahu anak muda yang sebaya dengan puterinya itu pelan. Dia berbicara, menerangkan maksud dan tujuannya. Yah ... awalnya pemuda itu tak menyanggupi permintaan Prastio, tapi pada akhirnya dia setuju dan akan mencoba sebisanya.

Iva?

Siswi cantik itu masih tetap dalam mode tak peduli. Sepertinya Iva lebih tertarik untuk melamun sambil menatap jam dinding dibandingkan menyimak pembicaraan orang-orang di sekitarnya. Dia hanya menduga-duga saja hukuman apa yang akan diterimanya. Pandangan mata tak berpokus pada pembicaraan di belakangnya. Sehingga saat ayahnya sedang berbicara serius dengan guru konseling dan murid sekelasnya itu pun dirinya tak menyadarinya. Sepenuhnya bukan salah Iva juga, tapi karena mereka bicara memang berbisik.

SKÈOLOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang