23. Be Better

260 29 4
                                    

Chapter Unlocked🔓
.
.
.
.


Waktu baru menunjukan pukul setengah delapan pagi, tapi suasana rooftop sudah terasa menyengat efek dari panasnya mentari. Sama seperti Lily, dadanya serasa terbakar menahan sakit hati. Tak menyangka jika Irina--sekretaris kelasnya itu tak jauh berbeda dengan orang-orang yang Lily benci.

Ia tertawa sumbang sambil menatap keberadaan Irina yang kini berdiri tak jauh darinya dengan posisi menunduk. Bisa-bisanya dia menilai Iva sebegitu buruknya. Memang sejauh apa dia mengenal sahabatnya ini? Sampai bisa menyimpulkan seberapa jahatnya seorang Ivanka.

"Yang lo liat Iva ngebully itu Stella, Riska, sama Oliv. Padahal lo sendiri tahu, Na mereka itu kayak apa? Seenaknya! Iva kayak gitu cuma buat ngebela diri, bukan buat seneng-seneng. Lo liat kejadiannya, tapi enggak tau latar belakangnya."  Tatapan sengit Lily layangkan pada Irina. "Kecuali itu Zehra, dan lo gak perlu tahu masalahnya seperti apa karena itu urusan mereka," lanjutnya.

Jika saja Iva tak menahannya, mungkin sudah sedari tadi ia tampar wajah Irina. Lily tak terima, sahabatnya sampai dicap jahat oleh orang-orang sepertinya.

Tau apa mereka?

"Sekali lagi gue bener-bener minta maaf, gue nyesel udah mikir yang enggak-enggak," ucap Irina hampir menangis.

Iva sendiri memilih menyimak penjelasan Irina. Dari awal perempuan itu meminta maaf atas kejadian kemarin, sampai menjelaskan alasan ketakutannya terhadap Iva tak luput gadis itu jelaskan. Bahkan ia tak segan untuk kembali meminta maaf untuk yang kesekian kalinya. Namun sampai detik ini, Iva masih belum menanggapinya, meskipun Lily tampaknya begitu gatal ingin memukul Irina.

Tidak, Lily tak boleh melakukannya.

"Va jangan diem aja, apa perlu gue jambak dia buat lo?" tanya Lily mendesak Iva yang malah terdiam.

Diliriknya Irina yang masih menunduk. Iva bisa lihat jika jemari perempuan itu bergetar selepas mendengar ucapan Lily. Lagi-lagi Iva dibuat menghela nafas, apa sebegitu takutnya dia pada dirinya?

"Gue maafin," ujarnya. Singkat, padat dan jelas. Tampaknya Iva mulai malas mengurusinya. Kalau saja Irina tak memaksa untuk bicara, Iva akan memilih abai saja. Namun mendapati raut memohon perempuan itu membuat Iva tak tega. Padahal biasanya ia tak bersikap demikian. Mau orang itu menyesal atau tidak, minta maaf atau pun tidak Iva tak akan peduli. Entahlah, setiap kali melihat Irina, ingatannya pasti akan tertuju pada Alina. Adik kakak itu terlihat begitu mirip baik dari segi wajah maupun karakter.

"Udah selesai 'kan? Gue mau balik ke kelas."

Iva lantas bangkit dari posisinya yang semula bersandar pada dinding. Diikuti Lily yang masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Untuk pertama kalinya Iva menyelesaikan masalahnya sesimpel itu.

Lily sampai berpikir, apa efek keberadaan Juna akhir-akhir ini menjadi salah satu penyebabnya?

Namun langkah keduanya terhenti saat dirasakannya sebuah tangan menahan lengan Iva. Mau tak mau ia berhenti dengan tatapan yang mengarah pada Irina. Lantas menarik tangannya kasar dengan pandangan berubah tajam.

"Makasih banyak, Va gue berhutang budi sama lo," kata Irina.

"Gak perlu."

Gadis itu menggeleng. "Enggak, saat ini mungkin gue belum bisa bales kebaikan lo, tapi kalau suatu hari nanti lo butuh sesuatu, gue bakal bantu sebisa gue, Va."

Mendengarnya Iva hanya tersenyum sinis.

"Terserah."

Tanpa mempedulikan Irina, Iva terus berjalan meninggalkannya. Hutang budi, ya? Sudah pasti itu karena ia telah menolong adiknya kemarin. Tapi baiklah, mungkin Iva bisa menggunakannya suatu hari nanti.

SKÈOLOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang