Chapter Unlocked🔓
.
.
.
.Dari sekian banyaknya cogan di muka bumi, kenapa semesta malah memilih Arjuna lagi?
_Ivanka Dewi Nadhara_
.
.
.Dentingan sendok dan garpu terdengar beradu dengan piring memecah keheningan. Tak ada yang bicara pada awalnya. Sampai Prastio meneguk air dalam gelas dan ganti menatap putrinya. Suapan demi suapan masuk ke dalam mulut Iva. Mengunyahnya tanpa bersemangat apalagi berselera. Iva menghentikan ritual makan malamnya, menaruh sendok beserta garpu di dalam piring yang masih berisi nasi dan sayur.
"Kurang enak?" tanya Prastio.
Iva menggeleng. Mana mungkin bi Yanti bikin makanannya enggak enak. Apalagi jelas kalau semangkuk sup ayam di hadapannya terlihat begitu menggiurkan.
Mengambil sebuah apel di dalam keranjang, Iva kemudian menggigitnya. "Gak nafsu makan aja."
Bagaimana bisa Iva bersemangat di saat pikirannya sendiri tengah berkelana entah ke mana. Bayangan pertengkarannya dengan Arthur tadi siang, terus berputar tanpa bosan.
"Justru gua lebih malu pernah jadi sahabat lo."
Argh! Dia malu, Va! Malu!
Prastio mengerenyit bingung tatkala melihat putri semata wayangnya kini malah duduk melamun. Menatap buah di tangannya dengan kosong, seolah ada banyak hal yang sedang dirinya pikirkan.
Sempat dirasakannya Iva tersentak begitu Prastio mengusap puncak kepalanya.
"Cerita sama Papa," ucapnya lembut.
Senakal apapun seorang Ivanka, bagi Prastio dia tetaplah putri kesayangannya.
Prastio paham, bagaimana pun juga Ivanka masihlah seorang remaja. Umurnya masih 16 tahun, wajar jika Iva masih terlihat labil. Meskipun tak banyak waktu yang dapat mereka habiskan berdua, Prastio masih berusaha mengajak Iva bicara. Memberinya semangat, dukungan, atau pun nasihat.
Namun putrinya itu tetap memilih menyimpan masalahnya sendiri. Menutup kegundahan hatinya rapat-rapat, meski ia ingin mencurahkan segala keluh kesahnya pada sang papa.
"Enggak ada apa-apa, kok, Pa," sahutnya tersenyum manis.
Terdengar helaan nafas keluar dari bibir Prastio. Iva tak pernah mau membicarakan masalahnya, sampai Prastio sendiri yang mengetahuinya. Hal ini membuat beliau terkadang merasa khawatir, karena Iva sangat tertutup soal masalah pribadinya.
"Besok Papa harus berangkat ke luar negeri," ucapnya.
Iva terus mengunyah gigitan demi gigitan apel sembari menyimak apa yang dibicarakan Papanya. Kepalanya mengangguk-angguk paham, toh bukan berita yang mengejutkan. Mengingat dirinya sudah sering ditinggal bersama ART atau bahkan sendiri.
Saat itulah Prastio memberikan selembar kertas padanya. Sepasang obsidiannya melirik isi dari benda putih tersebut sekilas.
"Papa nggak pernah menuntut kamu jadi peringkat pertama atau berapapun, papa juga enggak pernah maksa kamu buat jadi seperti apa yang papa minta, tapi bukan berarti Papa abai dengan semua yang kamu lakukan selama di sekolah, Iva. Permintaan Papa sederhana, Iva, tolong jalani masa sekolah kamu dengan benar."
Gadis itu berhenti mengunyah apel di tangannya. Ia agak terkejut, karena jujur baru kali ini Prastio mengatakan permintaannya terus terang seperti ini. Memanglah benar kalau selama ini papanya tidak pernah menuntut apapun darinya. Bahkan papanya tidak pernah memaksa untuk Iva untuk meneruskan perusahaannya kelak. Ia sadar betul, sikapnya sangat buruk selama beberapa tahun ini. Semenjak lulus SMP, bimbingan konseling selalu menghiasi hari-harinya. Maka tidak heran kalau papanya kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKÈOLOVE
Teen Fiction"Mimpi apa gua, kalo sampe bisa suka sama cewek jadi-jadian bau kemenyan kayak si Ijah." "Gua nggak budeg, ya Juned. Mulutnya kok lemes banget, sih? Kek ngode minta dicium pantat kebo. Suka mah suka aja kali, bukannya malah nyari kerusuhan padahal...