Chapter Unlocked🔓
.
.
.Juna tak dapat membayangkan bagaimana sakitnya rasa yang diderita Iva. Gadis itu terus saja memegangi perutnya, meringis kesakitan dengan sepasang mata yang terpejam. Kekhawatiran Juna pun kian menjadi tatkala Iva mulai menangis. Namun ia juga bersyukur karena ambulan segera datang untuk membantu.
Dan di sinilah dirinya berada sekarang. Duduk bersebelahan dengan Kaivan di luar ruang IGD. Entah berapa menit lamanya mereka ada di sini, menunggu kabar dari dokter yang tengah memeriksa di dalam sana. Om Tio pun telah dirinya hubungi dan akan segera sampai beberapa menit lagi.
"Tadi pagi Iva bareng lu 'kan?" tanya Kaivan tiba-tiba.
Juna mengangguk. "Dia baik-baik aja tadi, gua gak paham kenapa dia bisa kek gini," sahutnya.
Laki-laki itu melirik ke arah Kaivan. Tampak jelas jika kakaknya itu tengah dilanda kekhawatiran yang teramat sangat. Beberapa kali mengecek ruang IGD hanya untuk memastikan apakah dokter telah selesai memeriksanya. Juna berani jamin, ia tak pernah melihat Kaivan secemas itu memikirkan seseorang.
Dengan jelas Juna dapat mengingat, bagaimana kakak laki-lakinya itu membopong tubuh Iva yang kesakitan sampai membawanya pada ambulan. Tak hanya sampai di situ, Kaivan pun turut serta dengan dirinya menemani Iva ke rumah sakit.
"GIMANA KEADAAN IVA, JUN?" tanya Om Tio yang baru saja tiba dengan nafas terengah.
"Iva masih di---"
"Dengan keluarga pasien?"
Prastio yang menemukan keberadaan dokter pun langsung menghampirinya. Menghujani berbagai pertanyaan mengenai kondisi putrinya dengan nada cemas.
"Bapak tenang saja, semuanya baik, putri Bapak pun kini sedang beristirahat. Ivanka anak yang kuat, Pak," tutur sang dokter.
Ribuan syukur langsung Prastio ucapkan tatkala mendengarnya. Begitu pun dengan Juna dan Kaivan, keduanya kini dapat menghembuskan nafas lega.
Sampai ucapan dokter selanjutnya kembali membuat mereka cemas.
"Namun saya ingin bertanya, apa Ivanka sempat mengkonsumsi sesuatu sebelum insiden ini terjadi?" tanya dokter dengan hijab berwarna merah itu.
Prastio dan Kaivan sontak terdiam, mereka tak tahu apapun tentang itu. Karena orang yang akhir-akhir ini, bahkan sejak tadi pagi bersama Iva itu adalah ....
"Iya, dok. Iva sempat makan sebelum lomba," jawab Juna.
"Berarti benar, temanmu itu keracunan makanan."
Ketiganya sontak memasang wajah terkejut. Iva keracunan? Orang gila mana yang berani memasukan racun dalam makanan seorang gadis? Terlebih itu terjadi di lingkungan sekolah.
Juna menyentuh kepalanya tak habis pikir. Jangan tanya soal keadaan Prastio sekarang, pria itu sampai terduduk saking terkejutnya. Ia dan Kaivan pun mau tak mau harus menenangkan Om Tio. Jangan sampai papanya Iva itu terkena serangan panik beneran. Maka Kaivan pun membawa pria itu masuk ke dalam untuk melihat keadaan Iva.
"Tau gitu gua nitip beliin naspad juga."
"Lo ngiler?" tanya Iva sambil tertawa.
"Mulai ... mulai ... ledekin aja teroos sampe si Gavin bisa move on."
"Dih! Ngambek! Bukan gue yang beli, tapi Lily."
Juna langsung mengangkat kepalanya. Benar ... ia ingat sekarang. Iva mengatakan itu tepat setelah dia menyetujui permintaannya. Juna yakin tak salah dengar, Iva menyebutkan nama Lily sebagai orang yang memberikannya sarapan pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKÈOLOVE
Teen Fiction"Mimpi apa gua, kalo sampe bisa suka sama cewek jadi-jadian bau kemenyan kayak si Ijah." "Gua nggak budeg, ya Juned. Mulutnya kok lemes banget, sih? Kek ngode minta dicium pantat kebo. Suka mah suka aja kali, bukannya malah nyari kerusuhan padahal...