Prolog

159 12 2
                                    

      Disebuah ruangan sederhana bercat hijau muda dengan dua jendela agak besar yang dihiasi korden warna senada. Disudut ruangan sebelum pintu menuju kedalam, terdapat meja persegi dengan beberapa kitap kuning yang tertata rapi diatasnya.

Disana nampak dua orang lelaki bersarung, lengkap juga dengan pecinya. Tengah duduk berhadapan, beralaskan karpet hijau tua. Juga memakai setelan jas yang berwarna sama. Kedua lelaki itu terpaut usia yang cukup jauh. Yang satu lebih muda, terus saja menunduk, Seolah tak berani menatap lawan bicaranya, Dan yang satunya mungkin sudah berusia senja. Kulihat mereka sedang sibuk, membicarakan sesuatu yang sepertinya penting.

Tiba tiba Umi sudah berada disampingku.

"Ayo masuk !" Ajaknya padaku.

Aku menuruti kata Umi, kemudian masuk dengan kaki yang sudah kurendahkan, untuk menghormati Abah.

"Bah ini loh sudah ada Aqira"
Ucap umi mengingatkan Abah.
Setelahnya Umi pergi meninggalkanku.

"Ayo kemari!" Ucap Abah padaku.

Aku bingung. Dan yang membuatku terheran - heran adalah santriwan didepan Abah ini. Suasana menjadi canggung sesaat setelah aku bergabung dengan mereka.

"Kenapa nggak ngajak?"

Suara berat seorang lelaki membuyarkan lamunanya. Yang entah sejak kapan sudah berdiri disampingnya, Lalu mengambil alih dan tidur dipangkuanya.

Disinilah mereka sekarang, sebuah pelataran atap rumah yang luas dengan beberapa pot bunga kecil yang mengelilinginya, beratapkan langit gelap yang bertabur bintang. Indah sekali.

Aqira tetap tidak peduli dengan lelaki yang kini sudah tidur dipangkuanya. Aqira meliriknya datar, kembali lagi menatap indahnya langit. Lelaki itu mengeluarkan sebuah lipatan kertas lusuh dari saku bajunya. Aqira tetap tenang dan tidak peduli dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Sampai akhirnya Aqira terperanjat kaget ketika isi dalam kertas itu dibacakan.

Maafkan aku ya Robb

Yang bangun disepertiga malam
Hanya untuk memba.......

Kalimatnya terhenti, menggantung begitu saja. Saat kertas itu pindah alih ketanganku. Aku merebuatnya saat dia berusaha menjiwai kalimatnya tadi. Dia kaget, kemudian bangun dari pangkuanku.

"Apa yang kau lakukan?" sarkasnya cepat.

Aku hanya diam. Seraya berusaha menjauhkan kertas itu darinya.

"Kembalikan kertasnya Qi" bujuknya padaku.

"Untuk apa?" nadaku mulai meninggi.

"Biar kubacakan untukmu" jawabnya datar.

"Bahkan aku tak pernah lupa dengan isinya"

"Jika kau sudah hafal, berikan kertasnya padaku" Pintanya lagi.

"Kenapa kau senang menggodaku dengan kertas ini?" Nadaku mulai melunak.

"Karna kedepanya aku akan mencintaimu, itu sebabnya aku harus tau semua tentang dirimu. Hal sekecil apa pun itu, Aku adalah orang pertama yang harus tau soal itu".

Penuturan lembut dari suaminya selalu bisa membuatnya luluh. Lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya. Menikah satu bulan yang lalu. Sukses menikah lewat jalur perjodohan yang diatur langsung oleh Kyai pesantrennya.

"Termasuk juga kertas ini?"
Sambil menunjukan kertas yang tadi jadi bahan rebutan.
Arif hanya mengangguk sebagai jawaban. Aqira mendekat, menatap sepasang mata teduh yang sedari tadi tak berhenti memandangnya.

"Kau yakin mau mendengarnya?" Suaranya mulai lirih. Hatinya tiba - tiba sesak. Arif tidak menjawab, dan terus memperhatikan gadis disampingnya. Aqira mulai membuka kertas itu.

"Aku tak tau harus memulainya dari mana?" eluhnya kemudian.
Sambil menatap kearah lain, mendadak pandanganya kosong. Menerawang jauh pada kisah remajanya.

"Ceritakanlah dari sisi mana pun yang tak membuatmu terluka saat mengenangnya" jawab Arif diakhiri senyum.

"Sepertinya aku akan memulai dari kisah konyol itu"

Aqira tersenyum masam mengenang kejadian itu.

AQIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang