27. Biasalah

22 6 0
                                    

Semua sayur baru saja dicuci, tinggal menunggu kapan airnya mendidih. Rafa tengah menatap tungku bata yang perlahan mulai membesar apinya. Tangannya memasukkan banyak kertas dengan usil.

"Daripada begitu, mending kita cari kayu" usul Aqira menatap jengah, Rafa akhirnya bangkit dari jongkoknya. Lalu berjalan menghampiri Aqira.

"Ayo" serunya senang. kami berjalan beriringan menuju gudang kayu.

"kita bagi tugas, aku yang ambil dan kamu yang kumpulin" Aqira meminta persetujuan.

"setuju" Rafa tersenyum senang. lalu bersiap-siap menunggu di bawah, sembari menunggu kayu kayu itu dijatuhkan Aqira. Rafa asik memunguti kayu yang berserakan di sekitar tempatnya berdiri, terlihat dari jauh seorang santriwan yang kini tengah singgah dihatinya. siapa lagi kalau bukan Arif.

"Raf, sudah banyak belum kayunya?" tanya Aqira setengah teriak. Rafa tidak mendengar, karena pikirannya hanyut bersama hadirnya Arif yang baru saja lewat di depannya. walaupun jauh jaraknya, tetap saja rasa suka selalu menjadikan apapun terasa dekat.

"Raf!" panggil Aqira merasa tak mendapat jawaban dari teman yang dipanggilnya. Aqira turun. aneh. padahal Rafa jelas-jelas berada dihadapannya. lalu kenapa dia tidak menyadari saat dipanggilnya?

"Rafa" seru Aqira sekali lagi.

santriwati yang setengah melamun itu reflek menoleh, menatap sumber suara yang baru mengagetkannya.

"Kenapa Qi ?" Tanya Rafa yang terlihat biasa saja.

Aqira menggeleng pelan, lalu membantu Rafa menyelesaikan pekerjaanya mengumpulkan kayu. Aqira dengan jelas menangkap ekspresi senang yang berusaha Rafa sembunyikan. kalau dilihat dari wajahnya, sepertinya dia baru saja melihat muadzin sombong itu.

"kok sedikit sekali kayunya?" tanya Rafa. biasanya mereka mengambil kayu agak banyak.

"Yang kecil-kecil habis Raf, Tinggal yang besar"

"Kalau gitu ayo kita kembali" Rafa menarik tangan Aqira agar segera mengikutinya.

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Ditengah-tengah kekhusukannya mengaji sore, terdengar suara yang mengagetkan seantero pondok. semua yang hadir begitu penasaran, bagi santri putra mereka bisa tahu suara apa itu barusan. tapi kalau santri putri, sepenasaran apapun tetap saja tak tahu jawabannya. dari suaranya sih seperti truk yang sedang mengeluarkan beban dari wajahnya dan pertanyaannya isi truk itu apa? intinya sedang dikeluarkan dari dalam sana. entah apa itu?

"Kayu sebanyak itu buat apa?" tanya Kabir. tangannya menepuk nepuk lengan Arif yang masih sibuk mencatat keterangan dari Abah. Zaky dan Malik menoleh kebelakang, dimana Kabir kini tengah menatap keluar aula dengan ekspresi terheran heran. Mengamati gunungan kayu yang mulai menumpuk di halaman pesantren.

"Shuuut" Zaky dan Malik memberi isyarat sok galak pada Kabir.

"Aky kira-kira kayunya buat apa ya?" Kabir mengalihkan pertanyaanya pada Zaky, merasa tak mendapat jawaban dari Arif.
"Kita gunakan kayunya buat rumah-rumahan, mau?" tawar Zaky yang mencoba terlihat seserius mungkin. "Emangnya boleh ya?" tanya Kabir habis pikir.

"boleh, kenapa pula tak boleh" Malik menambahkan, menirukan gaya kartun si kembar botak.

Arif menatap ketiganya secara bergantian, hanya diam dengan sorot tajam yang mampu membuat siapapun bungkam seketika. Zaky, Malik dan Kabir kembali lagi pada posisinya.

🍂🍂🍂🍂🍂

Kembali lagi di malam Ahad. seperti pada malam Ahad sebelumnya, yaitu adu argumen bagi para santriwan. setiap dua Ahad sekali ada sesi tanya jawab fiqih. waktunya sama. dan sekarang para santriwan tengah memasuki sesi tanya jawab yang akan dijawab langsung oleh Azka. para santriwan yang tengah sesuai kelompoknya itu terlihat menyorot semangat ke arahnya.

" langsung saja ada yang mau pada mau bertanya?" tanya Azka mengakhiri kalimat singkatnya.

seketika semua santri angkat tangan. Azka tak begitu kebingungan kala semua santri berharap Azka memilihnya. dia justru menunjuk kelompok bagian sudut ruangan yang terlihat tak begitu semangat sedikitpun.

"Silahkan! Zak, ada yang mau ditanyakan?" seketika seluruh pasang mata menoleh ke arah belakang dan mendapat Zaky yang tadi melamun sekarang berubah panik, gelagapan. sontak seluruh santri tertawa melihat ekspresinya.

Zaky dengan cepat menarik selembar kertas dari genggaman Arif, lalu segera membacakannya. "Ada kang, banyak malah. mau berapa?" tanya Zaky seketika membungkam tawa para santriwan.

"satu aja, yang lain biar kebagian" jawab Azka santai, seperti biasanya. untuk untung Azka mintanya hanya satu, masalahnya kertas yang dicurinya dari Arif pun kosong. tak ada sedikitpun catatan disana.

"mampus" pikir Zaky menurutuki kebodohannya.

semua menunggu kapan Zaky akan melontarkan tanyanya. namun yang dihadapi hanya keheningan.

"buruan! kamu pikir cuma kamu yang butuh dijawab" umpatan datang dari kelompok sebelahnya. Wawan_ santriwan itu menyorot tajam ke arahnya.

"gimana hukumnya sujud dengan rambut yang sebagian menutupi dahi?" pertanyaan lugas keluar dari bibir Zaky.

"Ada yang mau jawab?" Tawar Azka kepada jajaran santri yang terus menatapnya.
kalau rambutnya menutupi sebagian dahi sholatnya masih sah" jawaban tenang datang dari kelompok Wawan yang berada persis di sampingnya.

"kalau dahi seluruhnya tertutup rambut?" sanggah Zaky

"tentu saja sholatnya tidak sah" jawaban sinis datang dari kelompok depannya.

"ada pendapat lain?" tanya Azka menengah. semuanya diam, Azka tersenyum tipis lalu melanjutkan kalimatnya. "

"Semua pendapat benar. menurut empat madzab, kecuali Imam Syafi'i, beliau menuturkan hukum sah secara mutlak. sebab dahi ketika sujud tidak harus terbuka"

" kang Azka!" seketika semua kembali menoleh. Santriwan yang memanggil Azka tak lain adalah Kabir.

"begini, kan kemarin saya main ke rumah. terus bantu nenek masak" semua tertawa.

"serius?" Zaky bertanya seolah tak percaya. Kabir hanya diam, lalu melanjutkan ceritanya.

"terus waktu rebus daging, air rebusannya berubah merah. hukumnya najis ya kan?" Tanya Kabir pada Azka, dia hanya mengangguk.

"terus gimana aku nggak enak waktu nenek suruh aku untuk memakannya?" tanya Kabir dengan mata yang tertunduk lesu.

"Gimana Rif menurutmu?" tanya Azka mengalihkan tugas sebagai narasumber kepada Arif.

"tidak apa-apa Bir, kalau pencuciannya sudah maksimal, najisnya dima'fu kok" jwab Arif pelan, menatap Kabir. Mendengar jawaban itu, Kabir kembali bertanya.

"Dima'fu? maksudnya gimana?" tanya Kabir dengan polosnya.

"maksudnya dimaafkan" tambah Arif. Lalu Kabir tersenyum senang.

"Ada lagi yang mau ditanyakan?" tanya Azka.

"Berniat puasa senin-kamis besertaan dengan niat qodho? Apakah diperbolehkan?"

"Iya diperbolehkan, dan mendapat pahala dari keduanya" jawab Azka lagi.

Akhirnya diskusi malam itu berjalan menyenangkan, meski tak luput dari emosi.

AQIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang