Mau tidak mau, Mira harus tetap berangkat bekerja hari ini. Ia hanya karyawan biasa, budak korporat yang harus memenuhi peraturan kantor agar bisa mendapatkan gaji dengan layak demi menyambung hidup sehari demi sehari. Apalagi kini ia merupakan salah satu tulang punggung keluarga, meskipun sang ayah masih bekerja, Mira tidak bisa lebih lama lagi mengandalkan pria tua itu untuk terus bekerja.
Fisiknya dimakan usia, kekuatannya tidak seberapa lagi. Itulah sebabnya meski tidak diminta, Mira tetap mengirimkan separuh gajinya setiap bulan ke rumah. Orang tuanya berulang kali menolak, katanya Mira simpan saja sendiri. Hidup di ibukota sangat sulit bila harus membagi hasil lagi dengan mereka.
Mira sendiri tidak bisa begitu, ia merasa perlu membalas semua Budi orang tuanya, meski sampai mati mungkin tidak sepadan tapi ia tetap mencoba.
Mengingat keluarganya, Mira jadi sedih, ia bukan anak baik-baik yang selama ini mereka ekspektasi kan. Mira banyak kesalahan.
Maka dari itu ia meneguhkan diri nanti ketika libur lebaran bisa dapat cuti panjang, ia sangat ingin bertemu keluarganya.Saat keluar Mira melihat Pram baru saja sampai di depan kontrakannya bersama motor matic hitam, ia berjalan menghampiri pria itu.
"Mas Pram jemput Mira?"
Pram membuka kaca helmnya, "iya, saya khawatir kamu naik bus, soalnya semalam kamu kelihatan kurang sehat." Ia menyodorkan helm yang disambut Mira tanpa banyak tanya lagi.
Setelah insiden semalam, Pram tidak bertanya lagi tentang Jo, mungkin merasa kondisinya belum tepat. Mira sendiri tidak tahu harus melakukan apa selain ikut diam, ia belum sanggup mengatakan yang sejujurnya.
Sesampainya di kantor, Mira dan Pram berpisah untuk memasuki kubikel masing-masing. Mira menemukan Anji dan Wina salah dua dari lima tim sediivisi nya di kantor dengan berbincang di samping kubikel nya. Dari cup kopi ditangan keduanya yang tinggal setengah, Mira tahu mereka sudah bergosip lama.
"Nji, kalau kamu jadi Pas Danur, mau nggak nerima cewek yang nggak perawan?"
Mira biasa mengabaikan keduanya, meskipun suaranya kadang sangat berisik dan mengganggu. Tapi topik perbincangan dua rekan kerjanya itu membuat telinga Mira sensitif.
"Ogahlah, bekas gitu. Nikah kan pakai mahar, kayak beli gitu. Mana mau gue beli mahal-mahal barang bekas," jawab Anji dengan gestur wajah seakan jijik.
Wina mengangguk setuju, saat hendak bertanya lagi, Gusti baru saja datang ikutan nimbrung tanpa diajak.
"Bener Nji, apalagi dengar-dengar calon istrinya Pak Danur lagi hamil ya? Ya ampun mana mau aku tanggung jawab sama benih orang lain!" Pria asal Bali itu punya suara yang nyaring buat Mira geleng-geleng, apa tidak takut nanti orang yang digosipkan dengar.
Pak Danur adalah manager mereka, jika dengar gosip-gosip ini pasti habis tuh mereka.
"Eh jangan-jangan sebenarnya Pak Danur yang hamilin ceweknya. Maklum, Pak Danur juga kelihatan kayak pria metropolitan yang tidak peduli norma, pernah dengar juga dia itu sebenarnya pemain, sudah sering tidur sama banyak perempuan."
"Bener juga, lagipula gak masuk akal ada cowok normal yang mau bertanggungjawab atas bayi orang lain."
Semakin lama perbincangan mereka semakin kelewatan, Mira akhirnya memilih untuk memakai headphone dan memasang volume kencang-kencang. Ia benci pada orang-orang yang suka sekali menilai hidup dan pilihan orang lain, seakan mereka sudah si paling benar.
Terlalu sibuk atas pekerjaannya, Mira tidak sadar waktu berlalu sampai sebuah sentuhan dipundaknya membuat ia menoleh mendapati Pram dengan sebuah minuman di ditangannya. Mira melepaskan headphone itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan selingkuhan [TAMAT]
RomanceAmira sadar mencintai pria yang mempunyai istri itu adalah salah. Apalagi dilakukan diam-diam, dan bahkan sudah berhubungan intim dengannya. Namun, ia sudah terlanjur mencintai Jonathan begitu dalam, ia telah tenggelam dalam lautan rasa cinta. Lalu...