Selingkuhan Vs Istri

2.1K 89 22
                                    

Tubuh Mira sangat lemas. jika tidak diajak bicara oleh bapak ojek online yang tengah menyetir membelah jalanan, mungkin saja tubuh perempuan itu sudah jatuh menghantam aspal. Kepalanya bagaikan kabel listrik yang ruwet, kedatangan Lia tadi sungguh mengguncang jiwanya.

"Neng, masih kuat kan, Neng?" tanya Bapak pengemudi sambil menyalit sebuah mobil, ia melirik sesekali penumpangnya lewat kaca spion, memastikan bahwa pelanggannya tersebut masih baik-baik saja sampai mereka sampai ke tujuan.

Mira tidak menjawab, terlalu pusing dengan masalahnya, kepalanya sangat sakit, bahkan kini tangan dingin dan gemetaran. Wajahnya pucat pasi ketika si Bapak datang ke titik penjemputan, setiap kali ditanya, ia hanya menjawab seperlunya atau dengan anggukkan, tidak peduli si bapak lihat dia mengangguk atau tidak.

Akhirnya karena semakin cemas dengan pelanggannya tersebut, si Bapak melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Hingga dalam waktu sepuluh menit saja mereka sudah sampai di kontrakan Mira.

Mira langsung turun, si Bapak ojek membantu membukakan helm karena merasa perempuan ini sudah tidak punya tenaga bahkan sekedar membuka pengait itu.

"Neng nanti istirahat yang cukup, ya. Jangan lupa makan dan minum obat, mukanya pucat gitu. Apa mau bapak belikan obat?"

Hati perempuan itu tersentuh dengan kebaikan sang bapak, bagaimana mungkin ada orang sebaik itu pada dirinya.

"Enggak usah, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah peduli sama saya." Ia mengeluarkan selembar uang berwarna merah menyerahkan pada si Bapak. "Kembaliannya untuk bapak aja."

"Alhamdulillah, terima kasih neng. Semoga lekas sembuh, ya."

Selanjutnya si Bapak segera menghidupkan motor lalu membawa mesin tua itu meninggalkan kontrakan Mira, sebelumnya beberapa kali beliau menawarkan untuk membelikan obat atau makanan tetapi Mira tetap menolak.

Sambil merogoh tas selempangnya mencari kunci, seseorang dari belakang berjalan mendekat saat jarak sudah dekat orang itu menepuk pundaknya.

"Astaga!" teriak Mira terkejut melepaskan kunci, benda itu mendarat di lantai dan membuat ia kehilangan keseimbangan, terjatuh tanpa bisa dicegah, bokongnya menabrak ubin dengan cukup keras ia mengaduh kesakitan lalu mendongak melihat siapa orang yang mengagetkan dirinya.

Seakan sudah jatuh tertimpa tangga, matanya membulat dan melotot melihat perempuan bersama bayi di gendongan. Bayi itu merengek hampir menangis karena teriakan Mira tadi, untung saja sang ibu dengan cepat mengayun bayi tersebut dalam gendongan.

Alana.

Demi Tuhan, Mira merasa ingin mati saja. Kenapa seakan masalah datang menghampiri dirinya beruntun? Ia bahkan tidak kuat untuk bangkit berdirinya. Ia lemas sebadan-badan. Keringatnya bercucuran, degup jantungnya sangat kencang, tenggorokannya kering.

Ia menyeka keringatnya di dahi terlebih dahulu, ketika tangan Alana terulur untuk membantunya berdiri.

"Kamu seperti lihat setan, kenapa terkejut begitu?" tanya Alana, ia sudah berhenti mengayun anaknya karena bayi mungil itu kini sudah anteng, dengan empeng menyumpal mulutnya.

"Mbak tiba-tiba pegang bahu saya, gimana enggak kaget."

Alana mendengus tidak mau memperpanjang masalah tadi, ia melihat Mira kini memutar kuncinya lalu pintu terbuka, "Mbak masuk dulu, yuk."

Keduanya duduk saling berhadapan, Alana menyapukan pandangan menilai keadaan rumah kontrakan itu.

"Sudah berapa lama tinggal di sini?"

Seharusnya Mira yang bertanya-tanya mengapa istri Jo bisa ada di kontrakannya. Tetapi sungguh. Ia tidak ingin tahu jawabannya, perasaan nya sudah menandakan sesuatu yang tidak enak akan terjadi. Biasanya instingnya tidak pernah meleset.

"Baru dua-tiga Minggu yang lalu, saya rada lupa, Mbak," jawab Mira, bayi mungil itu sangat mirip dengan Jo. Hatinya seperti dicubit menyadari di perutnya kini ada benih Jo yang bertumbuh. Ia penasaran apakah anaknya kelak akan mirip seperti diri bapaknya?

"Namanya Fatiah, dia baru dua tahun. Masih belia sekali Mira." Alana menjelaskan melihat Mira seakan tertarik sekali dengan putri itu. Mata perempuan tersebut terus melekat pada Fatiah.

"Mira, kedatangan saya ke sini mau bertanya sama kamu." Alana menarik napas dalam-dalam, ada jeda juga sesak yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. "Sebelumnya maaf saya kemari tiba-tiba, kamu pasti terkejut. Saya dapat info rumah kamu dari Lia. Kamu pasti kenal dia kan?"

Mira tercekat, dugaannya benar kehadiran Alana kemari tak lain dan tak bukan pasti bertanya mengenai hubungan ia dan suaminya. Mira bahkan tidak tahu harus menanggapi seperti apa, roh nya seperti hendak meninggalkan tubuh.

"Kita sama-sama perempuan, Mir. Kamu jujur sama saya, ya." Sewaktu di rumah Alana sudah berencana akan memaki-maki Mira, marah-marah atas kelakuannya dengan Jo di belakang dirinya. Tetapi melihat kondisi mengenaskan perempuan ini, hatinya tercabik-cabik. Menyedihkan, batinnya.

Tanpa perlu repot-repot ia hajar, ternyata Mira sudah babak belur duluan. Wajah pucat, rambut lepek, kemeja putih yang dibasahi keringat sehingga tampak lecek, juga dari suaranya Alana tahu Mira sudah kehabisan banyak energi.

"Kamu ... kamu sama suami saya sudah sejauh apa?"

Bibir Mira bergetar, ingin berbohong untuk membela dirinya, tetapi ia seperti buku yang terbuka lebar-lebar sekarang. Sepertinya semua orang telah mengetahui ia yang sebenarnya.

Matanya memanas, air mata menganak sungai, beberapa kali ia seka tetapi tetap saja tidak cukup menyaingi derasnya cairan bening itu jatuh.

"Sejauh apa, Mira? Tolong jawab saya?"

Bukannya menjawab tetapi Mira malah semakin terisak, hidungnya sudah mampet, berusaha bersuara walaupun terdengar sangat parau, "Ma...ma..maaf, Mbak."

"Astaghfirullah, jangan bilang ....?" Alana membekap mulutnya, ia ingin teriak tetapi masih memikirkan Fatiah.

Wajahnya memerah, dadanya naik turun, rasa emosinya kini meletup-letup. Mencoba menahan diri selain karena Fatiah, juga karena kondisi Mira yang mengundang simpatik.

"Kamu jahat sekali Mira, kamu enggak lihat anak saya masih balita? Kamu enggak berpikir gimana kabar rumah tangga saya sama Jo? Kamu kurang ajar, dasar pelacur!"

Mira bangkit untuk berlutut di hadapan Alana, masih dengan tangisan sambil mengucapkan maaf berkali-kali.

"Jalang sialan, ibliss!" Tangan Alana sudah siap melayang menampar Mira. Tetapi gerakannya tertahan mendengar suara mobil memasuki halaman depan.

Seorang pria berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka.

"Al hentikan!"

Itu suaminya Jo, Alana tidak terlalu terkejut melihat kehadiran suaminya itu. Ia memang sengaja meninggalkan secarik kertas lalu menempelkan di pintu kulkas.

Tulisnya dalam kertas:

Aku menemui pelakor itu, Jo.
Aku akan menghabisinya.

"Bahkan kamu lebih memilih perempuan sialan ini, Jo?!"

"Alana, aku akan jelaskan semuanya. Kamu jangan salah paham."

Gigi Alana saling bergesek, tangannya ia kepal kuat-kuat. "Salah paham? BAGIAN MANA YANG AKU SALAH PAHAM, JO? BAGIAN KAMU MAIN SAMA PEREMPUAN LAIN DI BELAKANG AKU? ATAU TENTANG KAMU YANG TIDUR SAMA PEREMPUAN LAIN SELAIN AKU?"

Fatiah langsung menangis histeris mendengar suara teriakan sang Ibu. Jo berniat mengambil bayi itu dari pelukan Alana tetapi dengan cepat istrinya itu menghindar.

"Jangan sentuh anakku dengan tangan kotormu, sialan!"

****

Okey, bentar lagi tamat.

Hehe.

Kalian mau ending yang seperti apa?

Meskipun endingnya udah ada sih, wkwk. Penasaran aja.

Oh, ya, jangan lupa tinggalkan jejak yaww. Vote dan komentar.

Salam damai

Cangtipone ❤️

Bukan selingkuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang