Dilamar

1.4K 63 30
                                    

Amira melenggang enteng menuju kubikel tempat ia biasa bekerja, sesampainya di sana, menjatuhkan bokongnya pada kursi. Biasanya sangat malas untuk memulai hari, bekerja di hadapan komputer, menatap layar menyala berisikan deretan pekerjaan yang membuat kepala mengebul. Hari ini Mira merasa itu semua bukanlah masalah.

Mengeluarkan ponsel dari tas selempang hitam yang sudah ia letakkan di atas meja kerjanya, ia membuka ikon kamera. Menatap wajah pucat, bibir yang sengaja tidak ia poleskan lipstik. Sempurna. Ia terlihat berantakan.

Semula ia berpikir untuk tidak masuk hari ini, mengingat kemarin pagi. Tetapi Mira ingin membuatnya menjadi lebih menarik. Mungkin tetap masuk kantor dengan keadaan tidak baik-baik saja akan semakin menimbulkan rasa bersalah Pram.

Ia mengetuk meja tidak sabar pria itu datang dan terkejut melihat keadaannya. Mira menggigit bibir bawahnya gregetan. Terdengar jahat, tetapi Mira menyesal tidak melakukan ini dari dulu, seharusnya semenjak Jo memutuskan hubungan mereka, ia terima saja kehadiran Pram. Ia kesal pada diri sendiri yang sempat berpikiran sempit, toh ia tahu Pram menyukainya, ia tidak menipu siapapun bukan?

Tidak biasanya, Pram belum juga muncul, bahkan Mira sudah dua kali bolak-balik ke kamar mandi sekedar ingin melewati meja kerja Pram untuk melihat apakah pria itu sudah ada atau belum.

Perasaannya mulai tidak enak, apakah pria itu melarikan diri?

Tidak. Tidak. Pram bukan pria macam itu.

"Woy, lihat-lihat dong kalau jalan!" bentak Gusti ketika sekali lagi mengecek meja Pram, cup kopi milik pria itu hampir saja jatuh, tetapi untungnya masih sempat diselamatkan karena Gusti bergerak cepat hingga hanya beberapa tetes saja yang jatuh.

"Ma--maaf Ma--as."

Pada devisi mereka, Mira adalah anggota paling muda. Jadi ia harus menaruh hormat pada yang lain meskipun jabatan mereka setara.

"Aku hitung sudah tiga kali kamu bolak-balik, ngapain sih? Nungguin si Pram?"

Mira gelagapan ditanya tepat sasaran begitu, tingkah lakunya yang sangat kentara membuat ia tidak bisa mengelak.

"Mungkin kejebak macet, udah sana balik ke mejamu. Minggu ini sibuk, jangan main-main mulu."

Mira tidak pernah akrab dengan teman kerjanya kecuali Pram, mereka semua sangat ceriwis, berisik dan kepo, Mira takut suatu hari ia bisa-bisa dikuliti luar dalam oleh mereka lalu digosipin di belakang. Mengerikan!

Mira segera balik ke mejanya dengan putus asa, ketika tubuhnya berbalik, matanya membulat melihat kehadiran Pram yang datang dengan terburu-buru. Pria itu langsung menuju mejanya sama sekali mengabaikan eksistensi Mira.

Dengan tidak percaya Mira kembali ke meja kerjanya dengan perasaan gamang. Apakah rencananya gagal? Jangan-jangan Pram sama seperti Jo yang tidak mau bertanggung jawab.

Satu harian perasaan Mira kacau. Kepalanya kini kembali pusing.

***

Jari jemari lentik dengan kuku terpotong rapi, dilapisi kutek bening tanpa corak menekan tombol Ctrl dan huruf S untuk menyimpan hasil pekerjaannya, matanya sudah perih berjam-jam menatap layar laptop dengan kontras tinggi, sebab kalau kegelapan kadang Mira tidak nyaman.

Mengambil obat tetes dari laci, Mira meneteskan dengan mandiri cairan tersebut. Membuat kedua matanya sedikit banyak lebih enakan.

Membereskan meja kerjanya, ia menilik ke sekitar, sudah sepi. Mira sengaja untuk berlama-lama mengerjakan tugasnya karena tidak mau cepat kembali.

Ia takut kesepian di rumah, seharian ini Pram tidak menunjukkan perilaku seperti biasanya membuat hati Mira rasanya kacau.

Sebenarnya qpa yang Mira pikirkan, ia mulai bertanya-tanya. Berubah jadi jahat juga tidak memberikan jalan baik padanya, jadi baik juga selalu menyusahkan dirinya. Rasanya begitu menyesakkan menjalani hidup, Mira mengelap ujung matanya yang mulai berair.

Ia lelah, bukan karena beban kerja yang seringnya melewati kapasitas diri, tetapi karena masalah yang tidak menemukan jalan keluar.

Ia membenarkan letak flatshoes di kakinya, beranjak dari duduk. Ia harus pulang. Di depan lift ia memencet tombol tutup sebelum sebuah tangan mengentikan, ada orang yang pulang malam juga sepertinya.

Pria itu masuk berdiri di sebelah Mira, suasana mendadak sangat canggung.

Mira menekan nomor lantau tujuannya. Lalu mengambil hape di tas berpura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal hanya sekedar scroll beranda Instagram.

"Mira."

Namanya dipanggil, tetapi Mira memilih tetap fokus pada ponselnya.

"Aku tahu ini terdengar terburu-buru, satu hari saja rasanya begitu menyiksa."

Mira berhenti menggesek layar ponselnya, telinganya menunggu kalimat selanjutnya dari pria itu. Hatinya berdebar kencang, takut-takut tidak sesuai harapan.

"Menikahlah denganku, aku akan bertanggung jawab atas kejadian kemarin malam."

Mira berusaha keras agar tidak tersenyum lebar, ternyata sia-sia ia cemas seharian ini, sesuai dugaan Pram adalah pria bertanggung jawab.

Namun, Mira tidak boleh langsung terbuai dengan mudah, ia harus sedikit jual mahal biar tidak kelihatan kalau ia juga menginginkan hal tersebut.

Pintu lift terbuka, tanpa menjawab pernyataan Pram barusan, Mira melenggang keluar duluan dengan langkah cepat diikuti Pram di belakang.

"Mira!" Tangan pria itu menarik lengan Mira, mehan agar perempuan itu semakin berjalan menjauh.

"Aku tahu kesalahan ku besar, tetapi biarkan aku menebusnya Mira. Kumohon."

Mira menghempaskan tangan Pram, ia menunjukkan ekspresi seolah-olah bersedih. "Ini enggak mudah bagiku, Mas. Pernikahan bukanlah main-main. Biarkan aku berpikir terlebih dahulu."

"Aku minta maaf Mira."

"Maaf, Mas. Berikan aku kesempatan untuk berpikir."

***

Komentar 20 di bab ini, aku publish bab selanjutnya hari ini jugaaaa.

Ayok vote dan komentar biar cerita ini cepet tamat. Huhu.

Bukan selingkuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang