Menerima

1.2K 59 21
                                    

Masih dengan handuk yang melilit tubuh polosnya, Mira memandangi di depan cermin di meja rias, ia tersenyum lebar. Senyum yang sejak tadi menghias di wajahnya selama perjalanan pulang. Mengelus perutnya yang masih datar, mengajak bicara janin yang masih seukuran buah anggur itu.

"Nak, selamat kamu dapat ayah yang baik!"

Dadanya sesak oleh kebahagiaan, mungkin ini adalah hari paling membahagiakan di hidupnya beberapa tahun belakangan. Ia tidak sabar mengabari orang tuanya kalau ia sudah punya calon, seorang pria baik bertanggung jawab.

Makanya ia buru-buru memakai baju tidur lalu menelepon ibunya.

"Assalamualaikum, Nak. Kenapa malam-malam telepon?"

Suara parau pelan itu membuat dahi Mira berkerut, apakah ibunya sedang sakit?

"Walaikumsalam salam, Bu. Ibu apa kabar? Suaranya kok beda?" tanya Mira malah bertanya balik tanpa menjawab pertanyaan ibunya sebelumnya.

"Iya, ibu tadi baru aja tidur." Jawaban ibunya membuat Mira cepat-cepat melihat jam di ponselnya. Masih jam setengah sembilan, cepat sekali sudah tidur pikirnya. "Ibu enggak enak badan, jadi mau segera istirahat," sambung ibunya menjelaskan kebingungan Mira.

"Oalah, Bu. Jadi Mira mengganggu ya?"

"Eh, enggak kok sayang... Kapan lagi kita bisa telepon, sudah jarang kamu telepon ke sini."

Karena sibuk bekerja yang kadang lembur, sisa waktu Mira hanya ia pakai untuk beristirahat.

" Mira kangen ibu, kita sudah dua tahun enggak ketemu." Mira mengingat-ingat kejadian terakhir kali ia pulang kampung, itupun cuma bisa seminggu doang. Rasanya begitu rindu.

"Kami juga rindu Mira. Tahun ini harus pulang ya."

Mira mengangguk meskipun tidak bisa ibunya lihat, "iya, Bu. Pasti."

Mira berdeham, mengumpulkan keberanian memberitahu kabar bahagia pada sang Ibu. "Bu, Mira dilamar."

Wanita di seberang sana tidak segera menjawab, manakala tubuh dan otaknya mendadak berhenti bekerja sedetik sebelum berteriak.

"Masya Allah. Alhamdulillah. Pak .... Anak kita sudah punya calon!" Teriakan Ibu membuat Mira harus menjauhkan ponselnya dari telinga. Kembali lagi ia tersenyum bahagia.

"Mira? Benarkah itu Mira?" Kini Mira mendengar suara berganti menjadi bariton.

"Iya, Pak. Tadi calon Mira barusan ngelamar. Insha Allah, nanti Mira segera perkenalkan ke Ibu dan bapak."

"Vera enggak dikenalkan, Kak?" Itu adiknya, Mira tertawa. Tidak hanya dirinya, kabar itu juga membawa kebahagiaan kepada keluarganya.

"Kamu jugalah, dek! Kamu ini."

"Bapak senang banget dengarnya, nak. Ibumu sampai nangis tuh." Meskipun tidak bisa melihatnya, Mira bisa merasakan nya, ibunya pasti sangat terharu.

"Akhirnya kamu bisa menemukan pengganti Jonathan, Alhamdulillah ya Allah. Bapak kira kamu akan melajang sampai tua karena masih kepikiran dia."

Mira tertegun, ia lupa bahwa keluarganya tahu ia tidak pernah menerima berita bahwa Jo menikah. Sehari setelah pernikahan Jo, Mira mengurung diri dalam kamar selama seminggu, ia menangis tapi ikhlas kekasihnya menikah degan perempuan lain.

Bahkan Mira tidak pernah membuka hatinya untuk laki-laki lain setelahnya. Pastinya keluarga Mira tahu itu karena Mira belum bisa melepaskan Jo.

"Bapak enggak sabar bertemu dengan dia, Mira. Pria baik yang bisa meluluhkan hatimu."

***

Sudah seminggu setelah Pram melamarnya, Mira belum juga memberikan jawaban. Hubungan mereka bahkan semakin memburuk setelahnya karena Mira yang terus menerus menjauh, juga Pram yang semakin frustasi.

Hari ini Mira memutuskan untuk memberikan jawaban, maka ia memberikan satu pesan singkat pada Pram untuk bertemu selepas pulang kerja.

Perempuan itu menunggu di lobby, Pram datang menepati janjinya. Mereka kemudian memutuskan untuk berbicara di sebuah cafe tak jauh dari kantor.

"Aku sudah memutuskan, Pram." Mira langsung to the point.

Pria itu menahan napas, perasaannya tidak tenang akan jawaban dari Mira. Selama ini seminggu waktu yang sangat lama, ia tidak sabar tetapi tidak bisa menuntut Mira agak lebih cepat memberi jawaban.

Mira meletakkan sebuah amplop ke hadapan Pram, membuat pria itu kebingungan, apa yang sedang Mira lakukan.

Tangannya menerima amplop tersebut, dengan berhati-hati membuka isinya, matanya membulat melihat tiga tespek di sama, ketiganya menunjukkan hasil tes yang sama. Dua garis biru.

"Aku hamil, Mas," aku Mira, membuat Pram terhenyak di tempat, meskipun sudah menduga akan berakhir seperti ini, Pram tetap terkejut.

"Aku pikir, karena kita baru pertama kali melakukannya tidak mungkin langsung berhasil. itu sebabnya aku tidak langsung menjawabnya." Mira memberi jeda, sekadar ingin melihat wajah syok Pram, hatinya begitu puas. Semua berjalan seperti apa yang ia rencanakan.

"Aku menerima lamaran kamu, Mas. Meskipun aku tidak menginginkan itu, tapi anak di kandunganku saat ini butuh ayahnya," kata Mira sambil memegang perut dan menunjukkan ekspresi sedih yang dramatis.

Pram menarik tangan Mira untuk ia genggam, "Mira aku akan bertanggung jawab, aku berjanji atas nama Allah. Aku akan membuat kalian bahagia."

"Aku harap kamu bisa memegang ucapanmu, Mas."

Akhirnya. Selesai juga pikir Mira. Ia kini hanya tinggal memikirkan pernikahan mereka, ia akan segera mengenalkan Pram pada keluarganya.

Tanpa mereka ketahuan, di meja samping tempat mereka duduk, diam-diam ada Anji yang menguping sejak tadi. Pria itu segera mengetikkan info tersebut ke grup gibahnya.

Karena sebenarnya tidak ada jalan yang mudah untuk ditempuh, kita tidak bisa langsung bahagia sebelum mencapai akhir dari cerita. Gosip cepat menyebar, tentang penemuan tespek beberapa Minggu lalu di dalam kamar mandi perusahaan kembali di pertanyaan oleh grup gosip. Anji mengatakan bahwa itu fix milik Mira.

***

Fufufu tidak segampang itu Miraaa

Vote dan komen yaaakk.


Bukan selingkuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang