Cahaya di ujung kegelapan

3.9K 84 11
                                    

Semuanya terasa canggung sekarang. Mira benci keadaan ini, keadaan sunyi yang melingkupi keluarganya. Ibunya jadi pendiam semenjak kejadian itu, pun ayahnya yang tidak mau bicara dengannya lagi.

Untung saja masih ada Vera yang menjadi menengah di antara mereka. Tapi itu tidak cukup.

Sewaktu makan malam. Biasanya akan ada obrolan hanya yang terjadi, tapi malam ini rasanya sangat sunyi. Masing-masing fokus dengan piringnya.

Hanya bunyi denting sendok dengan piring yang terdengar, Mira melirik diam-diam ayah dan ibunya, setiap hari merasakan rasa bersalah menelannya hidup-hidup.

Ia ingin mati saja rasanya. Ditambah setiap kali keluar, tetangganya selalu mencemooh. Gosip tentang dirinya sebagai pelakor sudah santer tersebar di seluruh desa.

Ada masa-masanya di mana seperti ada bisikin di kepalanya menyuruh untuk bunuh diri saja. Tetapi Mira tetap bertahan karena ia pikir hal tersebut tidak akan menyelesaikan apa-apa.

Lama ia berpikir bagaimana cara memperbaiki keadaan, bagaimana cara agar ia dimaafkan. Tetapi solusinya tak jua ia temukan.

Malam kemarin ia akhirnya memutuskan sesuatu. Ini mungkin tidak akan bisa menghapus masalah yang ada, pun tak memperbaiki keadaan. Tetapi bisa meringankan beban keluarga nya.

"Bu, Pak. Mira akan pergi dari rumah."

Semua orang yang ada di meja makan itu terdiam. Terkejut akhirnya Mira bicara, pun akan apa yang disampaikan anak sulungnya itu.

"Mira tahu, bapak sama Ibuk masih marah sama Mira. Mungkin tidak akan memaafkan Mira untuk selamanya."

Mira meletakkan sendok untuk bisa menghapus air matanya yang keluar begitu saja. "Maaf telah mengotori nama kalian. Maaf telah menjadi aib di keluarga ini. Maafkan Mira, Bu, Pak. Maafkan Kakak Vera...."

"Mungkin lebih baik Mira pergi saja, setidaknya kalian tidak akan melihat Mira lagi. Suatu saat gosip itu akan berhenti lalu menghilang, dengan begitu hidup kalian akan kembali baik-baik saja."

"Baik. Sana pergi. Cari suami orang lagi, hancurkan semua rumah tangga orang lain! Sana anak sialan sanaaa!"

Suaminya menahan tangan istrinya, mengode untuk sabar. "Tenang, Bu."

"Mira minta maaf Bu. Mira bersumpah tidak akan merusak siapapun lagi. Maaf, Bu. Mira benar-benar menyesal."

"Sudah-sudah. Ini saat-saat makan seharusnya jangan buat keributan."

Tidak ad yang nafsu makan di sana lagi. Mira yang pertama pergi. Ia kemar nya mulai menyusun barang untuk berangkat. Pilihan untuk pergi lagi mungkin adalah keputusan yang baik pikirnya.

Saat tengah mengisi koper dan tasnya. Vera masuk menyusul dirinya. "Kaaak..."

Tubuhnya dipeluk erat. "Jangan pergi lagi, Kak. Jangan tinggalkan kami lagi, Kak. Vera butuh Kakak."

"Kakak juga nggak ingin. Tapi mungkin ini satu-satunya cara agar ibu bapak maafin Kakak."

"Nggak, Kak. Jangan pergi."

***

Adiknya tidak mampu menahan Mira, ia tetap pergi. Kedua orang tuanya tidak melarang. Bahkan di saat terakhir juga tidak mau melihatnya.

Membawa koper dan tas ia masuk ke dalam taksi.

Kepalanya pusing, tetapi selama perjalanan ia hanya memandang jalanan dengan tatapan kosong.

Ia sampai di terminal yang sama saat dulu pulang. Berat rasanya untuk kembali pergi. Ia ingin bersama keluarganya, semua ini sulit. Tetapi ia tak mau semakin membuat keluarganya dalam masalah. Mungkin jika ia pergi, orang-orang akan berhenti mencemooh keluarganya.

Di bantu petugas bus, ia memasukkan barang-barang ke dalam. Saat waktunya tiba, ia mulai naik ke dalam bus. Memilih duduk di dekat jendela.

Ia akan pergi ke kota yang ia tidak ketahui, mungkin memulai hidup yang baru. Memulai dari awal, berharap suatu saat ia bisa diterima kembali oleh orang tuanya.

Sang supir sudah di kursi kemudinya, tinggal beberapa menit lagi bus itu melaju.

Keributan terjadi di luar, bus terpaksa menunda sebentar. Mira menengok dari jendela apa yang terjadi, seorang pria memaksa masuk ke dalam bus meskipun tidak memiliki tiket.

Yang membuat Mira membeku adalah pria itu ia kenali. Jantungnya berdebar tak karuan saat si pria berhasil menerobos petugas dan masuk ke bus. Menyusuri setiap bangku-bangku, ia mencari seseorang.

Sampai tiba di bangku Mira, pria tadi berhenti. Ia mengulurkan tangan.

"Ayo turun, Mir. Jangan kabur lagi."

Seperti terhipnotis, Mira patuh. Ia menerima uluran tangan pria itu lalu turun dari bus. Beberapa orang bergerutu dan marah-marah. Ulah mereka membuat perjalanan terganggu.

Selepas turun pria tadi langsung memeluk Mira erat-erat.

"Maafkan aku, Mir. Maaf terlambat menemui dirimu."

Mira masih tidak mengerti apa yang terjadi. Kepalanya tiba-tiba tidak bekerja.

"Ayo, kita hadapi bersama masalah ini, Mir. Aku akan menemanimu di saat terburukmu sekalipun. Aku akan selalu ada untukmu."

"Mas Pram." Nama itu meluncur dari bibirnya dengan sangat pelan. "Apa yang terjadi?"

***

Pram membawa Mira ke sebuah cafe di dekat terminal, ruangan dingin itu menyejukkan tubuh.

Pria itu bercerita mendapatkan alamat kampung halaman Mira dari Jonathan. Ia mengaku telah mencari-cari Mira selama ini. Pram juga terkejut saat tahu Mira mengundurkan dir dari pekerjaannya.

Mendapati kontrakan wanita itu telah kosong, membuatnya sempat putus asa. Hingga ia bertemu secara tidak sengaja dengan Jo.

Mereka bercerita tentang Mira. Jo bilang semua yang terjadi adalah kesalahan pria itu. Ia yang meminta Mira menjadi wanitanya meskipun sudah menikah, menjanjikan untuk menikah Mira suatu saat.

Alasan mengapa Jo akhirnya melepas Mira pergi dari hidupnya karena rasa bersalah ada Mira.

Pram datang ke rumah Mira. Bertemu orang tuanya yang mengaku bahwa Mira telah berangkat untuk pergi entah kemana. Kebetulan sekali satu hal yang terpikirkan Pram adalah terminal terdekat, dan telat beberapa menit saja mungkin ia tidak akan bisa bertemu Mira untuk selamanya.

"Aku menyesal membiarkan kamu pergi sendiri hari itu, Mir. Seharusnya aku menemani kamu menghadapi semuanya."

Pram berbicara dengan raut wajah menyesal, sangat tulus. Pria itu masih gagah, dan tampan seperti sebelum-sebelumnya. Tiga bulan ternyata tidak merubah apa-apa.

"Bukan salah kamu, Mas. Ini murni salah aku."

"Salah aku tidak memperjuangkan kamu, Mir. Meskipun kamu bersalah, tetapi kamu juga sudah berusaha berubah. Seperti aku pernah bilang, selalu ada kesempatan untuk orang yang mau berubah."

Mira terenyuh dengan perkataan Pram, pria itu tetap pria paling baik yang pernah ia temui di dunia ini.

"Aku tak terima kenyataan saat kamu mengaku telah mempermainkan aku. Aku marah. Tetapi aku sadar ini tak sepenuhnya salahmu. Seandainya aku lebih berani untuk mendapatkan kamu, pasti kamu tidak akan ada dalam kondisi seperti ini." Pram meraih tangan Mira. Meremasnya kuat. "Aku mencintaimu, Mir. Mari kita mulai dari awal."

"Mas..."

"Menikah lah denganku, Mir. Kita mulai kehidupan baru. Mari lupakan yang lama."

Tamat.

Bukan selingkuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang