Ini bukan pertama kalinya Mira telat datang bulan, siklus menstruasinya memang kadang amburadul mengikuti tingkat stress. Mira tahu akhir-akhir ini ia memang banyak pikiran, sering ke capaian dan gampang lemas. Itu sebabnya saat menyadari sudah sebulan sejak terakhir kali ia menstruasi, ia tidak panik.
Namun, pagi ini dirinya gundah. Sebab secara aneh ia merasa mual-mual. Rasanya ini berbeda fengn sebelum-sebelumnya. Mencoba berpikir positif mungkin ia masuk angin, tapi seminggu ini ia tidak lembur ataupun keluar malam.
Menyetop angkutan umum, ia berhenti di sebuah apotek yang berada tak jauh dari kantornya. Mira akan melanjutkan jalan kaki saja setelah ini, hemat biaya, ia sedang menabung untuk pulang kampung libur lebaran ini.
Sebelum membeli alat pendeteksi kehamilan atau tespek, Mira memastikan tidak ada orang yang ia kenal melihatnya, bisa jadi gosip heboh bila saja teman kantornya tahu. Ia sudah mempersiapkan jaket Hoodie dan masker untuk menyembunyikan diri.
Dua jenis tespek telah ia kantongi, buru-buru ia pergi menuju kantor karena sudah mepet waktu masuk. Sepanjang hari, Mira tidak bisa tenang, pikirannya melayang pada malam panas terakhirnya dengan Jo. Saat itu, karena dalam kondisi emosi Jo melakukannya tanpa pengaman, dan juga Mira tidak meminum pil KB seperti biasanya jika mereka khilaf melakukan hubungan tanpa pengaman. Semuanya terjadi begitu saja, Jo mengeluarkan miliknya di dalam. Mira sendiri melupakan hal itu.
Ini benar-benar kesalahan fatal, ia tidak mau bila harus hamil. Hubungan nya dengan Jo sudah berakhir, tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi. Bila prasangka buruk ini benar-benar kenyataan, Mira yakin Jo akan menyuruhnya menggugurkan kandungan. Ingat sendiri bagaimana kejinya Jo memutuskan hubungan mereka dan memilih istrinya untuk diperjuangkan, padahal Mira sudah berkorban banyak selama ini.
Belum lagi bila kabar tersebar di kantor, Mira rasanya mau mati saja membayangkan hal tersebut.
"Mir, kamu sakit?" sebuah tepukan di bahu membuat Mira terkesiap. Jantungnya terasa jatuh ke lantai, tetapi buru-buru ia menenangkan diri, ia memutar tubuhnya untuk menemukan sosok pria di belakang nya.
Pram memandangnya dengan cemas, Mira melihat layar komputer yang tidak berubah sama sekali sejak pertama kali ia duduk di kubikelnya.
Ia sudah melamun selama lebih dari satu jam."Ah, iya, Mas. Mir---" gejolak aneh diperut, Mira beranjak berdiri, ia mau muntah.
Tidak lagi, jangan di sini, teriaknya dalam hati.
Pram mengikutinya sampai ke pintu kamar mandi, cemas bila mana Mira kenapa-kenapa di dalam.
Sedangkan Mira begitu sampai langsung mengeluarkan isi perutnya ke dalam kloset. Rasanya begitu kacau, batinnya tidak tenang. Maka dari itu untuk memastikan prasangka nya, ia segera mengeluarkan tespek dari kantong celananya lalu dengan gemetaran, membiarkan alat pendeteksi itu bekerja dan mengecek benarkah prasangka nya.
Pada tespek pertama, Mira begitu terkejut melihat dua garis biru, lututnya seketika lemas, kepalanya semakin berat, mata berkaca-kaca.
Ya, Tuhan. Tolong buat ini hanya kesalahan, batinnya menahan tangis.
Karena itu sekali lagi mengecek dengan tespek kedua, jantungnya berdebar-debar,. wajahnya sudah pucat pasi, selagi menunggu hasil Mira berulangkali mengucap doa.
Namun, yang ia dapatkan adalah hasil yang sama. Seketika ia merasakan langit runtuh. Ia terduduk lemas sambil membekap mulutnya.
Tidak tahu harus menyalahkan siapa, karena ia sadar ini adalah kesalahannya sendiri. Kalau saja ia sejak awal tidak melakukan dosa besar itu, ini tidak akan terjadi.
Mira menangis untuk waktu yang sangat lama hingga sebuah telepon masuk menyadarkan ia bahwa ia tidak boleh berlarut begini. Ia sedang di kantor. Buru-buru ia menyeka wajahnya, untuk saja tidak ada orang selain ia di sana. Jadi saat Mira mencuci muka di wastafel ia bisa sejenak menenangkan diri agar wajah sembab nya tidak terlalu kelihatan.
Sekiranya merasa sudah baikan, ia pun keluar, sambil menelepon ulang nomor yang tadi meneleponnya.
"Astaghfirullah," ucap Mira melihat Pram di pintu, ini kedua kalinya ia terkejut. Refleks ia mematikan sambungan tadi, karena peneleponnya kini di hadapannya.
"Kamu beneran baik-baik saja?"
Mira ingin mengatakan ia baik-baik saja, tapi wajah pucatnya tidak membiarkan ia berbohong.
"Badan Mira gak enak, dari tadi pusing juga, Mas," jawabnya tidak berbohong tapi tetap menyembunyikan fakta sebenarnya.
"Kamu pulang saja, ya. Minta cuti setengah hari," saran Pram yang sontak dijawab Mira dengan gelengan keras. Tidak mungkin ia mengambil jatah lagi, dalam dua bulan ini ia sudah banyak memakainya, keputusannya untuk pulang kampung tahun ini sudah bulat.
"Enggak, Mas. Habis minum obat, palingan udah baikan. "
"Makasih sudah perhatian sama Mira, Mas. Mira pamit kembali ya," kata Mira buru-buru meninggalkan Pram.
Ia sadar sudah banyak membuang waktu, laporan yang manajer nya minta belum ada ia kerjakan sedikitpun.
****
Mira dan Pram baru saja pulangmakan siang di luar, lagi-lagi berkat ajakan Pram secara paksa, sekalian membeli obat katanya. Mira yang tidak punya kekuatan menolak pasrah mengikuti Pram.
Tiga orang rekan kerjanya mereka lagi bergosip dengan suara lantang, melupakan fakta jam segini seharusnya mereka duduk di meja kerja masing-masing untuk bekerja.
Gusti melirik Pram dan Mira dengan tajam, lalu kembali ke Wina dan Anji.
"Jangan-jangan mereka, gak sie?" tanyanya nyaring tidak peduli Mira dan Pram mendengar nya.
"Masuk akal tapi gak mungkin deh," jawab Wina sambil mengamati Mira.
"Mira terlalu pendiam dan Pram terlalu baik untuk melakukan hal itu." Opini Wina disambut anggukkan kepala oleh Anji.
"Bang Pram Sholehah begitu dikata sering main cewek, kalau Mira diam-diam bisa aja sih," sambung Anji lagi.
"Bener, gue lihat sendiri tadi Mira lama banget di kamar mandi, mungkin benar tespek itu punya dia."
Tubuh Mira menegang, ia terpaku di tempat. Pembicaraan ini mengingatkan dia pada kesalahannya yang lain, saking terkejutnya saat melihat tespek kedua, ia menjatuhkan benda itu, dan lupa memasukan ke tong sampah sebelum keluar.
Menyadari ekspresi gadis disampingnya, Pram mengernyitkan dahi. Ia juga mendengar pembicaraan itu, tapi respon yang Mira perlihatkan membuat ia merasa janggal.
"Jangan dengerin mereka, mereka memang kalau ngomong gak mikir dahulu."
Mira tidak mendengarkan perkataan Pram, ia bergegas menuju meja kerjanya lalu segera pura-pura sibuk.
Hal itu membuat Pram semakin bingung.
Sedangkan Mira, kepalanya hampir pecah saat ini, mendengar penggosip itu masih terus berbincang keras dan ia harus pura-pura kuat di kondisi perut mual dan kepala berat.
Ya, Allah, hari ini tolong berkati hamba lebih banyak lagi, agar bisa kuat hari ini.
***
Author note:
Ini karma untuk Amira kah? Karena selama ini nekat main api dengan suami orang?
Kalian seneng gak lihat Mira dapat karma?
Komentar yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan selingkuhan [TAMAT]
Roman d'amourAmira sadar mencintai pria yang mempunyai istri itu adalah salah. Apalagi dilakukan diam-diam, dan bahkan sudah berhubungan intim dengannya. Namun, ia sudah terlanjur mencintai Jonathan begitu dalam, ia telah tenggelam dalam lautan rasa cinta. Lalu...