Jo membeku di tempatnya, handuk yang tadi ia gunakan untuk mengelap rambut basahnya terjatuh di lantai. Ia melihat tatapan Alana menatapnya dengan pandangan terluka.
"Kau membuka ponselku?"
Pria itu yakin dan percaya bila ia menunjukkan sikap ketakutan dan panik, ia tidak akan lolos. Maka ia memutar keadaan, Jo pikir balik marah adalah tindakan yang tepat. Trik yang sudah berkali-kali ia gunakan dan terbukti ampuh, ia ingin menggunakannya kali ini lagi.
"Bukankah kita sepakat untuk menghormati privasi masing-masing?" Ia maju mendekat dan meraih ponselnya, tetapi tindakan itu gagal saat Alana menarik tangannya dan menjauh dari Jo.
"Kemana kau semalam, Jo?! Jawab aku!" Ternyata tidak semudah itu, Alana menyalak galak membuat Jonathan hampir tidak percaya bahwa itu adalah istrinya yang selama ini bersuara lemah lembut.
"Alana kembalikan ponselku!" Tapi pria itu sudah sangat ahli dalam kondisi ini.
"Astaga .... kau meneriaki aku?"
Alis Jo mengerut, ia memejamkan mata berpura-pura kesal. "Al, aku semalam dari kantor. Sekarang kembalikan ponselku."
Wanita itu tidak mudah percaya, tak lagi, setelah semua bukti-bukti yang ia dapatkan. Masih menggenggam ponsel milik Jo dengan erat ia tidak kuasa menahan air matanya, aliran mulai terbentuk menelusuri wajahnya. "Kau bohong, Jo!"
"Al, apa temanmu itu menghasut lagi?"
Jo ingat pada perempuan berambut pendek dengan tampang judes dan bibir yang tidak pernah berhenti berbicara, Lia. Perempuan yang mengaku sahabat Alana itu sering sekali ikut campur rumah tangganya. Bahkan dulu, yang mendekorasi pesta pernikahan Jo dan Alana adalah wanita itu, yang memilihkan nama untuk anak mereka juga ada campur tangan Lia. Manusia paling Jonathan benci dalam hidupnya, jika melenyapkan orang bukanlah dosa, maka ia sudah melenyapkan Lia dari jauh-jauh hari.
Ia dan Lia memang tidak pernah akur sebelumnya, Jo bahkan sempat berpikir bahwa Alana ini punya kelainan, jangan-jangan ia menyukai Lia. Karena pendapat wanita itu sungguh mempengaruhi Alana.
"Tidak! Ini pikiranku sendiri." Alana membuka layar ponsel Jo, dan menunjukkan layarnya pada suaminya. Di sana tertera sebuah kontak bernama "Mira❤️". Emoticon hati berwarna merah itu membuat hati Alana panas. Ia cemburu, marah dan rasanya ingin memaki.
"Siapa Mira, huh?!"
Jo ingin mengumpat saat ini juga, bagaimana ia bisa lupa menghapus yang satu itu. Padahal pesan di WA dan SMS sudah ia hapus semua. "Alana aku bisa jelaskan ...."
"Ka--kau selingkuh, Jo. Teganya ...." Alana menutup mulutnya, dengan kedua tangan, alhasil ponsel Jo terjatuh, membentur lantai, meninggalkan retakan cukup para di layarnya. Tetapi dalam situasi ini, tidak ada satupun yang peduli akan hal tersebut.
"Tidak Alana, Mira bukan siapa-siapa."
"Bukan siapa-siapa? Kenapa ada tanda love-nya?"
Benar juga. Jo kelimpungan sekarang harus bagaimana, trik itu gagal. Alana tidak bisa ditaklukkan.
Oeee ... Oeeee
Fatia menangis, menginterupsi pertengkaran kami. "Alana itu hanya kesalahan, aku ... aku ...."
Bahkan oleh tangisan ank tunggal mereka, tak mampu melerai pertengkaran kali ini.
"Jonathan, aku minta kejujuranmu. Tolong ...."
Jo menatap Alana memelas, bila balik memarahi tidak berguna, maka mari merendahkan hati untuk menyelesaikan masalah ini pikir Jo. Jika keras tidak membuahkan hasil maka cobalah cara sebaliknya, dengan cara halus.
"Aku dan Mira sudah berakhir ...."
Oeeee, oeee, oeee, suara tangisan Fatia semakin gencar. Membuat kondisi semakin riuh. Alana menoleh ke arah keranjang tempat tidur buah hati mereka itu. "Berarti benar, kau selingkuh?"
"Enggak!" Jo menggeleng tegas. "Dia hanya masa lalu, Al. Mengertilah ...."
Oeeee. Tangisan Fatia tak dapat lagi kami abaikan, Alana berjalan cepat -lebih menyerupai berlari- ke tempat Fatia, mengecek popoknya yang basah. Bayi mungil itu ternyata pup, mengusap wajahnya, membersihkan sisa air mata yang menggangu penglihatan, Alana bergerak cepat membersihkan Fatia dan mengganti popoknya.
Beberapa menit selesai, tapi bayi mungil itu tetap menangis. Akhirnya Alana terpaksa harus menyusui anak itu, walaupun sedang tidak mood karena pertengkaran mereka.
Karena muak dengan Jo, Alana membawa bayi itu ke ruang keluarga. Duduk di depan televisi yang tak menyala. Saat tangisan Fatia sudah meredam, ia menangis lagi. Tak menyangka laki-laki yang amat ia cintai punya wanita lain, ia terluka, meskipun Jo belum mengakuinya.
"Al ...."
"Tinggalkan aku sendiri, Jo. Aku masih menyusui Fatia, jangan pancing keributan." Alana bahkan tidak menatap Jo saat mengatakannya.
"Kau keliru, Mira bukan siapa-siapaku. Percayalah, satu-satunya perempuan yang kucintai adalah dirimu."
Perkataan itu bukan menghentikan kesedihan Alana, justru semakin membuat ia sedih. Membuat ia ragu, apakah kepercayaannya pada Jo itu salah, atau kurang kuat. Ia takut sekali kehilangan Jo, tapi juga tak mau terlena mulut manis penipu jika ternyata suaminya itu berbohong.
"Baiklah mau kau percaya atau tidak. Aku berkata jujur, sumpah demi Allah. Aku mencintaimu Alana, dan Mira hanya masa lalu." Jo berkata serius, ia benar-benar jujur saat mengatakan ia mencintai Alana, karena toh ia sudah memutuskan memilih Alana ketimbang Mira. Mereka sudah selesai. Hubungan itu sudah berakhir. Kini yang perlu dilakukan adalah menjalani kehidupan masing-masing.
"Kau tahu? Mira hanya mantanku waktu SMA. Kau seharusnya ingat dia. Perempuan yang dulu jadi sainganmu." Jo tersenyum pahit, mengingat tiga tahun lalu. Saat ia dan Mira sedang dalam masa asmara yang menggebu-gebu, tiba-tiba kabar perjodohan itu menghancurkan segalanya. "Dan, kau lihat sendiri aku lebih memilih dirimu. Aku menikahimu dan memutuskan dia. Lalu apa yang perlu kau cemburui dari dia?"
Alana sekarang ingat perempuan itu. Pantasan saja nama itu begitu familiar di ingatannya. Ia kini perlahan-lahan memandang Jo. "Lalu kenapa nama kontaknya seperti itu?"
"Ah, itu. Aku lupa mengubahnya, kau tahu sendiri itu sulit bagi kami berdua. Kemarin dia menghubungiku, dan yaa... Hanya perbincangan singkat, tapi Al. Kau harus tahu cintaku hanya padamu."
Alana mengerjapkan mata, perkataan itu begitu manis dan sangat luar biasa, meluluhkan hatinya dengan mudah. Ia pun kali ini menaruh kesempatan untuk kembali percaya pada suaminya.
"Satu lagi, Jo. Kenapa kemejamu bau parfum mawar?"
Deg.
Jo terdiam. Dia lalu dengan cepat memutar otak, dan berusaha bersikap senormal mungkin walau jantungnya deg-degan. "Ah, itu .... Itu, kemarin teman kantorku pingsan dan aku mengangkatnya. Maafkan aku tidak memberitahu sebelumnya." Jo memberikan ekspresi wajah menyesal.
Alana terdiam. Memikirkan seluruh alasan yang masuk akal tersebut. Mungkin kali ini dia terlalu berlebihan dengan pikirannya.
***
Author Note:
Wkwwk Jo si mulut buaya dan kata-kata manisnya kali ini mampu meluluhkan kemarahan sang istri yang polos dan bucen.
Simak kelanjutannya di next chapter. Jangan lupa untuk mengikuti penulis, berlangganan dan berikan komentar yaaa
Cangtip1
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan selingkuhan [TAMAT]
RomanceAmira sadar mencintai pria yang mempunyai istri itu adalah salah. Apalagi dilakukan diam-diam, dan bahkan sudah berhubungan intim dengannya. Namun, ia sudah terlanjur mencintai Jonathan begitu dalam, ia telah tenggelam dalam lautan rasa cinta. Lalu...