Isu yang Beredar

1.1K 50 3
                                    

"Hah?" Alana setengah berteriak mengingat keberadaan Fatiah di sebelahnya, bayi yang sedang belajar merangkak itu tengah bermain dengan boneka lumba-lumba sehingga asyik sendiri dan tidak merepotkan Alana untuk terus memperhatikannya.

"Semalam aku kirim pesan ke kamu, udah ada tanda baca, masa kamu lupa?"

Alana sudah berulangkali mengecek roomchat mereka tidak ada pesan yang dimaksud Lia. Aneh sekali temannya ini pagi-pagi sudah datang ke rumahnya.

"Ini, aku kirim ini semalam. Jelas-jelas terkirim dan udah kamu baca," Lia menyodorkan layar ponselnya ke hadapan Alana.

Benar pesan itu ada, hanya saja tidak ada di ponsel Alana. Entah karena eror atau kesalahan lain. Tetapi ia mengabaikannya dan malah fokus pada pesan yang disampaikan Lia.

"Mira?"

Lia mengangguk mantap, nama perempuan itu Mira. Hatinya memanas mengingatkan mas nya membawa perempuan itu ke rumah, mengenalkan ia sebagai calon istri. Lia tidak setuju saudara laki-lakinya itu jatuh ke tangan seorang perempuan macam Mira.

"Dia mantan Jo," kata Alana menutup mulut dengan telapak tangan. "Amira mantan suami aku?"

"Kamu kenal? Wah, selama ini benar Jo main api di belakang kamu, Al. Apa aku bilang! Brengsek emang dia itu!" Lia berapi-api.

Alana mengusap setetes air mata yang jatuh, hidungnya mulai mampet. "Boleh aku lihat fotonya?"

Lia mengangguk, kemudian membuka galeri di hapenya, ia sempat mengambil beberapa gambar kemarin secara diam-diam. Mencari gambar yang paling jelas lalu ia tunjukkan pada Alana.

Begitu melihat foto perempuan bernama Mira, hati Alana mencelos, ia mengenali perempuan itu. Mira yang datang tempo hari ke rumahnya, perempuan yang ia lihat di pasar malam!

Rangkaian puzzle itu mulai menyatu, semuanya kini terlihat jelas. "Mir" seharusnya ia sadar ketika ada yang tidak beres dari gelagat suaminya waktu itu.

Baru Alana melemas, ia menatap nanar putri kecilnya yang kini tertawa sambil mengangkat mainannya lalu diserahkan padanya. "Sekarang aku harus bagaimana, Ya?"

Kini air matanya menganak sungai, Lia melihat itu buru mengambil tisu dari atas laci menyerahkan pada Alana. "Aku juga bingung, tapi yang pasti enggak akan kubiarkan Mas ku sama perempuan murahan itu," ucap Lia menggebu-gebu.

"Gimana dengan aku, Lia? Setelah ini aku harus apa?" tanya Alana saat mendengar Lia hanya memikirkan mas nya doang.

Lia menghela napas, "Kita harus cari bukti kuat dulu, biar suamimu itu nggak bisa ngelak."

"Terus?"

"Terus kamu ceraikan saja dia," jawab Lia enteng.

Alana terdiam memandang tajam sahabatnya itu, "Mulutmu! Kamu kira semudah itu? Anakku masih kecil Lia, dia butuh sosok ayah."

Kali ini ganti Lia yang terdiam, itu semua tak terpikirkan olehnya. Sedari awal ia hanya memikirkan bagaimana cara membatalkan pernikahan Mas Pram dengan Mira, tidak akan ada yang bisa mengubah keputusan Pram jika ia tidak punya bukti kuat. Ia akan punya bukti jika Alana mau membantunya.

"Buat apa kamu pertahankan pernikahan sama pria yang enggak bisa menjaga komitmen sama kamu, Al?"

"Sudah kubilang, ini bukan tentang aku tapi Fatiah!" Alana frustasi karena sahabatnya itu tak kunjung paham. Lihatlah betapa polosnya anaknya itu, ia tidak tega di umur yang masih sangat belia Fatiah harus menghadapi perceraian kedua orangtuanya.

"Saat sudah besar dia akan paham, Al. Yang penting kamu sudah cut off sama si brengsek itu."

Bagi Alana semuanya terasa membingungkan hatinya dilema, menerima tawaran Lia atau menjalani rumah tangganya seperti biasa berpura-pura tidak tahu apa-apa.

***

Mira datang agak siangan karena jalanan begitu macet, untung saja belum sampai telat. Ia meletakkan jempol pada fingerprint untuk tanda absen sebelum ke bilik kerjanya. Di meja kerja Anji berkumpul bersama Wina dan Gusti begitu berisik tetapi saat Mira semakin dekat mereka menyadari kehadiran Mira dalam sekejap langsung diam.

Hal itu membuat Mira bertanya, ia memperhatikan kembali penampilannya hari ini, tampak biasa saja tidak ada yang aneh.

Kemudian mereka mulai berbisik, Mira yang sudah duduk di depan meja kerjanya pura-pura memakai earphone. Lalu suara berisik itu mulai sedikit keras hingga Mira dapat mendengar nya.

"Fix Mira hamil, tespek kemarin milik dia!" Anji berbicara meyakinkan teman-temannya.

"Pantes lihat tuh pinggulnya melebar, biasanya ibu-ibu hamil tubuhnya bakalan beruban."

"Tapi aku enggak percaya kalau pelakunya si Pram," celetuk Wina. Perempuan itu masih meyakini bahwa Pram adalah pria baik-baik.

"Aku dengar sendiri guys, Mas Pram bilang akan tanggung jawab, berati pelakunya dia." Anji mencoba mempertahankan informasinya di tengah ketidakpercayaan dua orang di depannya.

Gusti berecak, "Emang benar jangan nilai buku dari covernya, gile si Pram ternyata suka main juga."

"Tetep aku nggak percaya," mungkin terlalu syok, atau karena sebenarnya Wina menaruh rasa pada Pram, ia tidak terima kenyataannya.

"Win, kau nggak bisa mengelak, terima saat kenyataannya," ucap Gusti didukung oleh Anji.

Di tempatnya Mira membeku, jantungnya berdegup kencang. Tenggorokan nya tercekat, ia menahan napas beberapa detik, tidak percaya ternyata sudah menyebar dengan cepat tentang kehamilannya.

Ia menoleh pada Pram yang datang, lagi-lagi grup penggosip itu terdiam tetapi mata mereka memantau interak Mira dan Pram.

"Kamu baru datang?" Pram meletakkan sekotak susu pisang di atas meja Mira, "besok-besok jangan tolak kalau saya menawari menjemput."

Mira terdiam pikirannya masih terlampau kacau untuk menanggapi Pram, saat menoleh ia bisa melihat tiga orang tadi berbisik-bisik.

"Mir?"

"Iya, Mas. Terima kasih."

Bagi Pram Mira bagaikan misteri yang susah sekali pecahkan, perempuan itu selalu bertingkah aneh. Tapi ia senang hari ini Mira kelihatan lebih segar, meskipun wajahnya masih kusut.

"Semangat untuk hari ini, Mira!"

***

Hey'yo!!!

Akhirnya update lagi, hihi. Kasih vote dan komentar yappp.

Oh iya, tolong mampir ke cerita aku yang sebelah dong. Judulnya "Tabur Tuai" bakalan update tiap hari jam 6 pagi.

Salam sayang.... cangtipone ❤️.

Bukan selingkuhan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang