"Selamat ulang tahun!"
Tiga orang di layar ponselnya bernyanyi setelah mengatakannya. Tiga orang itu adalah ibu, ayah, dan adik Mira. Sesudah sampai di kantornya, sebuah notifikasi video call masuk, dari adiknya--Vera. Begitu diangkat wajah ceria ketiganya menyambut Mira.
Terharu, tapi Mira tidak bisa menangis, ia tidak mau merusak make up-nya. Ini masih pagi untuk menghancurkan penampilan, ia tahan sekuat tenaga air mata itu agar tidak menetes.
"Makasih, Ibu, Pa ... Vera. Aku sayang kalian."
"Kapan kamu pulang, Nak?" Wajah sang Ibu menyiratkan seribu kerinduan, akhir tahun kemarin Mira gagal pulang kampung karena jatah cutinya habis dipakai saat ia sakit.
"Libur puasa nanti, insha Allah, Bu. Doain aja enggak ada gangguan lain," balas Mira sekenanya.
"Yowes, Nak. Tapi pas pulang bawa menantu menghadap Ibuk sama Bapak ya."
"Iya, Mir. Umur kamu sudah cukup untuk menikah, Bapak pengen vepet nimang cucu."
Mira mengulas senyum pahit. Hubungan asmaranya saja tidak jelas, bagaimana caranya ia membawa menantu untuk mereka. Masa iya Mira membawa suami orang kepada orang tuanya.
"Nggeh, Bu, Pa. Doain aja yang terbaik untuk Mira." Biarkan orang tuanya, masih dengan pemikiran mereka terhadap Mira, anak mereka yang baik. Bukan seorang wanita simpanan.
"Kak Mira, nanti kalau pulang jangan lupa bawa oleh-oleh!"
"Beres. Asal kamu jagain Ibu, Bapa, dengan baik," kata Mira pada gadis kecil yang beda sepuluh tahun dengannya itu.
Ia tutup ponselnya setelah berpamitan untuk kerja, bila atasannya mengetahui bukannya bekerja ia malah vidiocall-an, bisa-bisanya gajinya dipotong. Gaji saja sudah pas-pasan, kalau sampai dipotong segala bisa kekurangan Mira.
Duduk di dalam biliknya, ia dihadapkan pada layar yang memuat sejumlah pekerjaan. Tubuhnya masih lemah, aktivitas semalam benar-benar menguras tenaga, energinya belum cukup pilih sampai saat ini.
Sebuah kopi hangat di letakkan di meja Mira membuat perempuan itu tersentak dari lamunannya, ia menoleh untuk melihat siapa yang melakukannya.
"Biar lebih semangat. Kau terlihat sangat lelah, Mira." Suara bariton lembut itu membuat sudut bibir Mira terangkat.
"Thanks, Mas Pram." Rekan kerjanya yang satu ini memang yang paling perhatian terhadap Mira. Juga orang yang membuat Mira lebih tegar lagi bekerja di sana.
"Insomnia lagi, Mir? Kamu akhir-akhir terlihat kurang energi," pria itu menatap wajah lelah Mira. Meski sudah tertutup makeup tebal, pria itu tahu ada penat yang ia tutupi di sana.
Amira menggeleng pelan, menyesap kopi itu. Sensasi hangat pahit manis mengaliri kerongkongannya. Dalam hati Mira harap cairan aditif ini bisa membangkitkan energinya kembali.
Baru saja Mira meletakkan cangkirnya ke meja, sebuah sapuan tangan ia rasakan di keningnya. "Nah, kan, badan kamu anget. Mending istirahat di rumah aja, Mir."
Menyingkirkan telapak tangan Pram dengan sopan, lagi-lagi Mira menggeleng. "Tengah tahun nanti, aku mau pulang. Kalau cutinya terus-terusan Mira pakai, bisa-bisa cuti Mira cuma sebentar, atau bahkan gagal pulang lagi, Mas. Lagi pula ini cuma gak enak badan biasa."
"Yaudah, kalau begitu. Tapi jangan larang aku untuk membantumu, Mir."
Mira terkekeh. Tuhan begitu baik menempatkan dirinya sebagai rekan kerja Pram, pria itu amat sangat baik. Sampai-sampai Mira kebingungan sendiri membalas semua kebaikan Pram.
***
Akhirnya setelah seminggu digembor oleh pekerjaan yang berat, lembur yang panjang itu akhirnya berhenti. Hari ini Mira bisa pulang lebih awal, ia ingin cepat-cepat mandi, membersihkan tubuhnya, dan segera rebahan di atas ranjang kesayangannya.
Baru ia ingin menekankan ponsel untuk memesan kendaraan online, sebuah bunyi klakson mengagetkannya.
Pram di atas motornya menyuruh Mira untuk naik ke boncengan.
"Menurut laporan cuaca tadi pagi, bakalan ujan bentar lagi, Mir. Ayo pulang bareng aku aja, sudah gratis cepet sampai lagi."
Mira pikir ada benarnya, ia juga butuh berhemat, kebutuhan hidup semakin naik, ia butuh simpanan duit yang banyak. Maka tidak menunggu waktu yang lebih lama lagi, ia duduk di jok belakang dan memegang bahu Pram saat motor mulai melaju.
"Sadar nggak, sih, Mir. Ini pertama kalinya kau memperbolehkan aku untuk mengantarmu pulang."
Mira menyengir, mengingat setiap pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, ia pasti menolak. Ya, dulu ia tidak mau Jo mendapati dirinya pulang dengan pria lain. Tapi setelah malam itu Jo berpesan tidak akan menemui Mira untuk beberapa hari karena istrinya mulai curiga, ia rasa untuk yang satu ini tidak masalah.
Lucu memang, Mira menjaga perasaan Jo, tapi pria sendiri tidak pernah melakukan hal yang sama. Mira jadi berpikir, apakah ia terlalu berlebihan mencintai Jo.
Ah, ia tidak mau memikirkan itu lagi, yang ia perlu hanya gerakan perubahannya. Satu perempatan lagi, maka mereka sampai di kontrakan Mira.
Omong-omong tentang Jo, Mira menegang mendapati mobil pria itu terparkir sana.
"Ada tamu, Mir?"
Mira cepat turun dari motor menyerahkan helmnya pada Pram, "Ya, aku minta maaf tidak bisa menjamumu untuk saat ini, Mas Pram."
Tanpa menunggu jawaban Pram, perempuan itu berjalan cepat masuk ke rumahnya. Tidak peduli Pram sudah pergi dari sana atau tidak ia ingin segera mengetahui mengapa Jo bisa ada di sana.
Benar saja, saat pintu dibuka, Mira mendapati Jo duduk di atas kursi tamu memandangnya lurus. "Kenapa enggak ngabarin kalau datang?"
Ia cepat-cepat menutup pintu agar tidak ada melihat mereka di sana, meski ia tahu tidak ada tetangganya yang bermulut penggosip, kendati ia juga tidak mau namanya rusak.
"Kenapa kau pulang dengan pria lain?" Dari suaranya, Mira tahu pria itu tidak suka. "Bilang kalau kau ingin bersenang-senang dengan pria lain hari ini. Aku mau pulang saja."
"Apaan, sih, Jo?"
"Ya, aku tahu aku punya istri. Dan kau pun boleh punya pria lain. Aku mengerti, Mir. Aku akan pulang."
"Tidak begitu!"
Mira tidak suka dengan sifat Jonathan yang satu ini, seenaknya saja menilai. "Dia hanya teman sekantorku. Kami hanya berteman."
"Lebih dari teman juga tidak apa-apa."
Entah kenapa Mira lebih sakit mendengar kalimat itu, daripada amarah yang perempuan itu bayangkan akan dilakukan Jo. Kalau ternyata pria itu tidak cemburuan, berarti ia tidak punya perasaan cinta yang selama ini Mira agungkan dari hubungan mereka.
Ia duduk di samping Jo, merasa ia harus segera istirahat, ia benar-benar lelah.
"Benar, lebih kau pulang saja ...."
Jo melihat sorot mata Mira yang lelah, ia jadi tidak enak hati telah menuduh macam-macam.
"Oh, dear.... Maafkan aku. Tapi aku memang sedikit syok, kau pulang dengan pria, padahal selama ini kau selalu bisa pulang sendiri. Ah .... Tapi lupakan itu semua." Jo memeluk tubuh Mira dari samping mengecup wajahnya.
"Kau masih wangi meski sudah seharian," bisiknya di telinga Mira.
Perempuan itu tahu apa yang dinginkan Jo, tapi untuk saat ini, ia ingin segera istirahat. "Hari ini aku mau istirahat, Jo. Terlepas dari pertengkaran kita tadi, kurasa memang pilihan baik kalau kau pulang saja."
"Mir?"
"Pulang Jo, mungkin di rumah istri dan anakmu sedang membutuhkanmu."
Melepaskan diri dari kungkungan Jo, Mira berdiri, lalu masuk kamarnya. Melaksanakan rencana yang ketika di perjalanan tadi ia siapkan.
***
Jadi tokoh utama pria pria keduanya udah keluar. Yes, he is Pram. Cowok perhatian nan baik.
CANGTIP1
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan selingkuhan [TAMAT]
RomanceAmira sadar mencintai pria yang mempunyai istri itu adalah salah. Apalagi dilakukan diam-diam, dan bahkan sudah berhubungan intim dengannya. Namun, ia sudah terlanjur mencintai Jonathan begitu dalam, ia telah tenggelam dalam lautan rasa cinta. Lalu...