Renjun berjalan dengan riang menuju ruang rawat ibunya. Di tangan kanannya terdapat seplastik nasi goreng kambing, sedangkan tangan kirinya memegang segelas jus mangga.
Memindahkan plastik jus itu ke tangan kanannya, lalu berniat untuk memutar knop pintu ruangan. Tapi belum sempat Renjun melakukan itu, pintu sudah dibuka dari dalam menampakan seorang lelaki yang tak terlalu tinggi dan berpakaian serba hitam. Mata keduanya bertemu selama beberapa detik, sebelum akhirnya orang itu berlari menjauh.
"Lo siapa-- WOI JANGAN LARI!"
Renjun berniat mengejar, tapi ia teringat akan ibunya. Dengan tergesa ia masuk ke dalam ruang rawat itu, dan kakinya seketika melemas karena apa yang ditemukannya.
Di sana. Di atas bankar rumah sakit. Sang ibu berbaring dengan wajah yang sudah memucat serta salah satu tangannya menjuntai ke bawah. Tak ada tanda kehidupan di dalam tubuh itu.
Renjun menjatuhkan plastik di tangannya, tak peduli dengan isinya yang mungkin akan berantakan di lantai.
"Bu! Ibu bangun!" Renjun menggenggam erat tangan ibunya yang dingin. Air mata sudah membasahi pipi gembilnya dengan deras.
Renjun memencet bel yang ada di atas tempat tidur untuk memanggil dokter. Tak lama, seorang dokter dan dua orang perawat datang ke sana dan bertanya apa yang terjadi.
"Dokter, tolong ibu saya," pinta Renjun di sela-sela isakannya.
Si dokter pun mengambil stetoskop dan mulai memeriksa ibu Renjun. Dokter itu juga mengambil tangan kiri wanita paruh baya dan memeriksa denyut nadinya. Nihil. Tidak ada detak jantung dan denyut nadi yang terdeteksi.
"Kami minta maaf yang sebesar-besarnya, tapi ibu anda sudah tidak bisa diselamatkan."
"NGGAK!" Renjun berseru kencang membuat dokter dan kedua perawat itu terkejut. "Dokter pasti salah. Ibu saya masih hidup, Dok. Ayo periksa sekali lagi!"
"Maaf, Tuan--
"IBU SAYA MASIH HIDUP, DOKTER. DIA NGGAK MUNGKIN NINGGALIN SAYA. DIA--" Renjun jatuh terduduk seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak semakin keras.
Dokter berkacamata itu menatap perawat yang ikut bersamanya seolah memberi kode. Si perawat pun mengangguk paham, berjalan mendekat ke arah jasad ibu Renjun dan melepaskan infus yang masih terpasang.
"Nyonya Huang. Waktu kematian pukul 21.35 P.M."
.
.
.
Jeno dan Jaemin memang baru dua kali bertemu dengan Ibu Renjun secara langsung. Tapi saat Renjun mengabari bahwa ibunya meninggal, itu cukup membuat keduanya sedih. Tak menyangka seseorang yang baru beberapa jam mengobrol bersama mereka pergi dengan begitu cepat dan tidak akan pernah kembali lagi.
Kini kedua pengusaha muda itu berada di rumah Renjun yang dipenuhi oleh suara isak tangis. Sebagian besar suara isak tangis itu berasal dari tangis Renjun yang kini sedang memeluk jasad ibunya begitu erat.
"Renjun sayang, ikhlasin Ibu ya. Biarin Ibu pergi dengan tenang. Kalau kaya gini Ibu kamu pasti sedih." Ibu dari Yeri mengusap punggung Renjun dengan lembut. Berusaha untuk menguatkan anak itu walaupun sebenarnya ia juga terpukul atas kematian seseorang yang sudah ia anggap sebagai kakak.
Renjun menggeleng dan makin mempererat pelukannya pada tubuh sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi, "Renjun nggak bisa, Tante. Kalau Ibu pergi Renjun sama siapa? Renjun nggak punya siapa-siapa lagi di sini."
"Ada banyak, Renjun. Ada tante, ada om, ada Yeri. Ya? Ikhlasin ibu kamu ya, sayang?"
"Renjun mau nyusul Ibu aja, Tante. Renjun mau ikut Ibu pergi. Renjun nggak bisa kalau nggak ada Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLO, SUGAR! (NORENMIN)
Fiksi PenggemarHuang Renjun. Lelaki berusia 21 tahun itu selalu dikenal dengan image anak baik-baik dan polos, baik di mata keluarganya maupun di mata orang-orang sekitar di lingkungannya. Tapi bagaimana jika dibalik semua itu, Renjun memiliki sebuah fakta rahasi...