36

2.9K 301 40
                                    

Gimana kabarnya nih?

Suara langkah kakinya memenuhi rumah besar yang sepi ini. Tatapannya lurus, wajahnya datar bukan main. Dia bahkan tidak peduli pada beberapa pelayan yang menyapa.

Jisung sendiri juga tidak tau, kenapa Adipura memanggilnya ke ruangan. Apa karena masalah di pemakaman itu? Cih, sudah dia tekankan berkali-kali bahwa urusan hati adalah urusannya yang tidak boleh ada siapapun yang ikut campur. Jangankan Adipura, Wijaya saja tidak berhak.

Ceklek.

"To the point. Aku malas di sini." Kata Jisung sekaligus sapaan untuk Adipura. Dia enggan untuk melangkah duduk, sementara Adipura kini menyandarkan punggungnya di kursi.

"Bukan seperti itu sikap seorang pemimpin, Jisung."

Jisung berdecak. Dia melangkah mendekat dengan berat hati lalu duduk di hadapan Adipura. Adipura memberi senyum, namun alih-alih membalas Jisung malah bertanya.

"Ada apa?"

Adipura menghela nafas. "Ada proyek, dan kakek niatnya ingin memberikan ke kamu sebagai latihan." Adipura mengendikkan bahu. "Nilai UTSmu bagus, jadi buat kakek, itu sudah cukup. Kakek akan ambilkan cuti untukmu selama kamu menjalankan proyek ini. Untuk mengganti hari, serahkan semua pada kakek. Kamu nggak perlu mengulang mata kuliah."

Jisung berdecih dalam hati. Memangnya, apa yang nggak dia bisa? Nyebelin anjing ni aki.

"Aku belum bilang mau."

"Kakek juga tidak butuh persetujuan. Kakek memerintah. Kakek nggak bisa mantau proyek ini karena ada urusan, nanti Antonio yang akan menemanimu."

"Proyek apa?"

"Freeport akan menyerahkan hasil tambahnya dua puluh lima persen ke kita, hasil tambang itu akan kita ekspor ke Paris, tepatnya diperusahaan Mode, kita pemasok bahan baku aksesoris yang nantinya hasil penjualan akan dibagi, itu saja. Semua berkas ada di sini-" Adipura menepuk-nepuk berkas diatas meja itu. "Tidak sulit, tugasmu hanya bernegosiasi dengan perusahaan itu sampai kesepakatan tercapai."

"Hanya itu?"

Adipura mengangguk.

"Kakek akan memberikan akses untukmu keluar masuk email perusahaan. Kau akan diterbangkan ke Paris, lusa."

Jisung membelak, "Lusa?"

"Iya, kenapa?" Tanya Adipura, "Takut meninggalkan kekasihmu sendiri, huh?"

Anjing.

"Bawalah dia, Chia akan aman bersamaku. Oh iya, kakek dapat kabar dari dokter bahwa perkembangan Chia semakin membaik. Pastikan kerjaanmu lancar dan pulang dengan selamat. Karena Chenle harus bertemu adiknya kan?"

Jisung menatap Adipura tajam. Dia bukan cenayang yang bisa memprediksi masa depan, tapi entah kenapa rasanya ada yang janggal. Satu, kenapa Adipura membolehkannya membawa Chenle pergi sementara dia sendiri yang mengekang hubungannya dengan Chenle?  Dua, kenapa Adipura dengan suka rela mau memantau Chia? Tiga, kenapa Adipura berkata jika Chenle harus bertemu adiknya setelah proyek selesai? Bukankah memang seharusnya begitu? Kalimat itu seperti ancaman halus.

"Nikmatilah harimu di Paris. Kakek yakin kamu bakal suka sama kota itu. Ingat pesan kakek, kerjakan proyek pertamamu dengan lancar, dan kabari aku begitu ada apa-apa."

"Sebenarnya apa yang mau kakek lakukan?"

Adipura tertawa renyah. "Apa penyampaianku belum jelas, cucuku? Aku memberikanmu proyek sekaligus liburan?"

"Kenapa kakek membolehkan Chenle ikut?"

Adipura menghela nafas. "Kamu pasti bakal membantah kalau kakek larang. Lagipula ujian sudah selesai. Hitung-hitung, ajak dia liburan. Dia sudah ngajarin kamu banyak hal."

TUTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang