Hari ini adalah akhir pekan, Alana dan Angga sedang menyantap nasi goreng yang dibuatkan oleh Sang papa sendiri. Hari ini ia akan berkunjung kemakam, untuk mengunjungi ibunya.
"Pa nanti beli bunga dulu ga? Buat Mama?" tanya gadis itu disela-sela melahap makanannya.
Sang papa menoleh, menatapnya. "Iya, nanti kita mampir dulu ke toko bunga." balasnya, tersenyum.
"Kira-kira Mama lagi ngapain ya disana? Al kangen banget sama Mama." ucap Alana tiba-tiba.
Angga tercekat, lelaki itu menghentikan pergerakan tangannya memegang sendok, terdiam. Tersenyum tipis, Angga lalu menatap Sang putri.
"Mama pasti lagi senyum-senyum." kata Angga.
Kening Alana mengernyit, bingung. "Hm? Kenapa?" tanyanya.
"Karena Putri kecil yang ia perjuangkan 17 tahun lalu, sudah semakin besar dan cantik. Persis sepertinya." ucap Angga seraya mengusap kepala Alana lembut.
Alana tertawa, bukan tertawa senang, melainkan ada kepedihan disana. "Papa,"
Alana langsung menghambur begitu saja dari kursinya memeluk Angga erat. Satu tetes mengalir dari mata kirinya, berusaha tak terisak namun tak bisa. Gadis itu tak sanggup, bila mengingat Ibunya yang pergi dari dunia dikarenakan dirinya.
"Lho.. Kenapa? Kok nangis? Papa salah ngomong ya?" tanya Angga, cemas. Ia menangkup wajah Alana dengan kedua tangannya, dengan pergerakan jempol mengusap pipi Sang putri yang berair.
Netra gadis itu tak menatap lurus pada Angga, melainkan menatap kearah bawah. Alana menggeleng, memegang tangan Sang papa yang berada dipipinya.
"Gapapa," suara gadis itu terdengar sendu.
"Sayang, hei. Liat Papa." Alana mengangkat pandangannya melihat netra Sang papa.
"Jangan pernah kamu berpikir kalau apa yang terjadi sama Mama itu karena kamu. Jangan ya, nak? Mama pasti sedih diatas sana, kalau tau kamu nyalahin diri kamu sendiri. Semua yang terjadi itu atas kehendak Tuhan, nak. Dan ingat, Mama sendiri yang milih untuk ngelahirin kamu, walaupun dia tau kondisinya pada saat itu sangat rentan. Mama ingin putri kecilnya yang ia tunggu-tunggu selama 9 bulan lahir kedunia dengan selamat, walau harus mempertaruhkan dirinya sendiri. Mama ga bakal suka kalau kamu merasa bersalah atas apa yang terjadi sama Mama. Jangan ya, nak? Itu semua bukan salah kamu, inget. Ya?"
Jelas Angga, penuh keyakinan. Berusaha meyakinkan Sang putri. Selama mendengarkan Sang papa, air mata Alana semakin berlomba-lomba untuk turun, membuat keadaan matanya sembab. Angga menggerakkan jari jempolnya kembali, menghapus air mata yang jatuh dari pipi Sang putri.
Alana lalu mengangguk, bibir gadis itu sedikit mengerucut dengan alis yang menukik, sedih. Kembali memeluk Angga erat. Tak bisa mengeluarkan sepatah kata, atau kalau tidak dirinya yang akan kembali berakhir menyedihkan.
Angga membalas pelukan tersebut, mengusap punggung putrinya, berusaha menguatkan. Ia mengecup kepala Alana sebentar, lalu berucap pelan ditelinga sang putri.
"Putri kecil Papa."
Satu cairan bening lolos begitu saja dari mata kanannya, ikut merasakan kepedihan Sang putri. Keduanya larut dalam tangisan, saling menguatkan satu sama lain. Melepaskan seluruh beban yang terpendam, menumpahkan segalanya, dalam bentuk air mata.
~~Terhitung 1 minggu lebih Alana dan Sang Papa menetap di Bandung. Namun, Baru hari ini keduanya sempat mengunjungi beliau. Dikarenakan kesibukan Angga yang tak bisa ditinggal begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something that can't be Tied
Novela Juvenil[SELESAI] "Kita memang dipertemukan oleh semesta. Namun semesta juga lah, yang tak membiarkan kita untuk bersama.." -Alana Aurellia . . . "Nathaniel, kita.."