"Semesta terlalu jahat, untuk kita yang tak tau apa-apa."
.
.
.Duk! Duk!
Terdengar langkah yang tengah berlari, membantu mendorong sebuah bangsal dengan segera, melewati lorong serba putih. Tak lupa dengan air mata yang telah mengalir deras, beserta jejak darah yang membekas ditangan.
Aditya, pria itu dengan segera menuju rumah sakit saat setelah mendapat kabar bahwa putranya; Nathaniel, kecelakaan. Kedatangannya disana sangat bertepatan pada saat sebuah mobil ambulan yang baru saja tiba dengan Nathaniel didalamnya.
Jantung Aditya, tak henti-hentinya berdetak kuat. Merasakan ketakutan yang sangat luar biasa, melihat Nathaniel yang bersimbah darah membuatnya tak kuasa menahan sesak.
"Silahkan tunggu diluar, kami akan segera menangani pasien." ucap salah satu perawat yang ikut membantu mendorong bangsal Nathaniel.
Langkah Aditya lantas terhenti, mengerti atas kebijakan rumah sakit. Hanya dapat pasrah melihat sebuah pintu yang perlahan menutup didepannya; Ruang Operasi. Pintu tertutup sempurna beserta lampu yang menyala tepat diatasnya, bewarna merah, menandakan bahwa sebuah operasi sedang dijalankan.
Aditya menduduki dirinya, kembali teringat bayang-bayang masa lalu, saat dimana Nathaniel nengalami deman tinggi dan berakhir dirumah sakit. Dan lagi-lagi Aditya disini, tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa memantau putranya itu, dari luar.
Aditya menunduk mengepalkan kedua tangannya pada kening, bertumpu pada kedua lututnya. Sungguh, Aditya sangat menyesal atas apa yang tejadi pada Nathaniel kini, merasa lagi-lagi bahwa ia lah yang bersalah atas segalanya.
Hingga terdengar derap langkah yang mendekat kearahnya, namun Aditya mengabaikannya.
Intan memperlambat langkahnya saat melihat Aditya; suaminya, yang terduduk menunduk disebuah kursi tunggu. Intan memejamkan mata sejenak, berusaha untuk tegar. Wanita itu harus kuat, agar ia bisa menjadi sandaran bagi suaminya.
"Mas.." Intan bergumam, menatap Aditya dari kejauhan.
"Mas Adit.." parau Intan, saat telah sampai tepat didepan Aditya, yang masih setia menunduk dibawah sana.
Intan mengerti, ia paham, paham akan apa yang suaminya alami kini. Tak kuat melihat suaminya yang seperti itu, Intan tak mampu lagi menahan air matanya, hingga satu tetes lolos dari pertahanannya.
Aditya tak bergeming, membuat Intan memeluk pria itu dengan posisi berdiri. Intan tak ingin bersuara, ia tahu Aditya sedang tak bisa diajak untuk berbicara untuk saat ini. Intan hanya memeluk pria itu erat, berusaha menyalurkan kekuatan padanya.
~~
Angga kini sedang dalam perjalanan pulang, pria itu tak sengaja melihat notifikasi ponselnya, terdapat banyak sekali panggilan dari putrinya, Alana.Dengan segera Angga memasuki rumahnya, setelah memarkirkan mobilnya didepan. Pria itu sedikit berlari berharap putrinya berada dirumah.
"Alana!" panggil Angga tepat saat pria itu membuka pintu.
Terlihat Alana yang terduduk diruang tamu, menangis. Kepala gadis itu sontak terdongak menatap kearah pintu, asal suara.
"Papa!" Alana dengan segera beranjak menghampiri Sang papa begitu juga dengan Angga.
Alana berhambur pada pelukan Angga, semakin meluapkan tangisannya. Angga ikut memeluk erat Alana, berusaha menenangkan putrinya sesekali. Angga mengusap lembut surai putrinya, kemudian bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something that can't be Tied
Teen Fiction[SELESAI] "Kita memang dipertemukan oleh semesta. Namun semesta juga lah, yang tak membiarkan kita untuk bersama.." -Alana Aurellia . . . "Nathaniel, kita.."