"Mau makan apa?" Nathaniel bertanya pada Alana.
Alana tampak berpikir sejenak, "Mie ayam aja,"
"Kenapa mie?"
"Ha? Ya.. Pengen aja.."
"Yauda, tunggu ya.." Nathaniel kemudian pamit untuk memesan makanan keduanya.
Alana hanya ternganga ditempatnya, menatap kepergian Nathaneiel yamg menjauh. "Apasih, lucu banget!" ucap Alana gemas.
Sesuai dengan ucapan Nathaniel dikelas, keduanya kini telah berada dikantin. Berpisah meja dengan teman satu sama lain, duduk berdua.
Jangan ditanya, yang pasti saat keduanya datang bersama kekantin. Sontak seluruh mata tertuju pada kedua pasangan itu, seakan seluruh warga sekolah tahu tentang keduanya.
Alana awalnya terlihat canggung dan merasa takut akan pandangan murid lain padanya, namun Nathaniel meyakinkan gadis itu untuk mengabaikan semuanya.
"Biarin, biar semua orang tau. Kalo aku udah milih kamu."
Ucapan Nathaniel terus saja terngiang-ngiang dikepalanya, ucapan yang akan selalu Alana ingat dan ia bawa sampai kapan pun.
Selang beberapa menit, Nathaniel kembali dengan membawa sebuah nampan yang berisikan makanan mereka dikedua tangannya. Laki-laki itu mengulum senyum, menaruh nampan tersebut diatas meja.
"Lama ya?" tanya Nathaniel, saat dirinya telah duduk.
"Enggak kok." jawab Alana tersenyum.
Keduanya makan dalam diam, menikmati masing-masing makanannya. Hingga Nathaniel tak sengaja melihat cipratan saus didekat bibir Alana.
Laki-laki itu awalnya ingin mengatakan langsung pada empunya, namun Nathaniel menggeleng pelan, berinisiatif laki-laki itu menarik tisu yang memang tersedia, lalu mengusap cipratan saus dibibir Alana.
Alana yang mendapatkan perlakuan yang tiba-tiba itu, tersentak pelan. Pergerakan gadis itu otomatis terhenti, membeku seketika. Matanya bergerak menatap wajah Nathaniel yang sibuk membersihkan cipratan dimulutnya itu.
"Ek-hem.." Alana berdeham.
Nathaniel reflek menjauh, setelah cipratan tersebut telah bersih.
"Itu tadi ada saos," ucap Nathaniel menunjuk-nunjuk bibirnya, menjelaskan.
Alana reflek membulatkan matanya, bergerak mengambil cermin yang selalu ia bawa disakunya.
Gadis itu berkaca, menggerakkan kepala; kanan-kekiri, berusaha mengecek keadaan mulutnya.
Nathaniel tertawa pelan, "Udah gaada kok, kan udah aku hapus." mengangkat selembar tisu yang ia gunakan tadi, untuk mengelap bibir gadis itu.
Alana kemudian terkekeh, merasa malu. "Oh. Makasih ya?"
Nathaniel hanya mengangguk, tanpa melepas senyum diwajahnya.
"Idih-idih, liat noh temen lo, ga kenal banget asli." Jenaka bersuara, dengan tatapan julidnya saat melihat Nathaniel yang berusaha mengelap sesuatu dimulut Alana.
Posisi meja ketiganya dan Nathaniel memang terbilang cukup jauh, namun Jenaka masih bisa melihat aktivitas yang keduanya lakukan diseberang sana.
Arga dan Galang ikut menoleh karah yang Jenaka tuju.
"Sirik banget heran." itu Arga.
"Makanya Ka, buru pepet si Laura. Biar ga julid mulu." sahut Galang kemudian.
Jenaka melemparkan pandangan datar pada keduanya, padahal maksud Jenaka tak seperti itu. Tapi ya, seperti biasa ujung-ujungnya tetap dialah yang kena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something that can't be Tied
Teen Fiction[SELESAI] "Kita memang dipertemukan oleh semesta. Namun semesta juga lah, yang tak membiarkan kita untuk bersama.." -Alana Aurellia . . . "Nathaniel, kita.."