34. UGD

155 6 0
                                    

"Dimana ruangan Nathaniel? Ah tidak, Aditya Nathaniel?"

"Tunggu sebentar," ucap salah seorang resepsionis.

Alana memainkan jarinya gelisah, tak bisa menunggu lebih lama. Melihat putrinya seperti itu, Angga mengulurkan tangannya, meraih tangan yang bergetar itu, berusaha menenangkannya.

"Tolong cepat."

"Saudara Nathaniel berada diruang Operasi."

Mendengar itu, Alana dengan segera berlari menuju pada ruang operasi. Tak sempat mengucapkan terima kasih, berakhir dengan dirinya yang pergi begitu saja. Alana berlari kencang dikoridor rumah sakit, mengabaikan semua tatapan yang kini tengah memperhatikannya, Alana tak peduli, yang ada dipikirannya kini hanyalah Nathaniel.

Angga bisa mengerti apa yang Alana alami kini, Alana pasti sangat khawatir pada keadaan Nathaniel. Namun Angga tak akan lupa, hubungan Nathaniel dan Alana adalah suatu yang tidak memungkinkan, bahkan semesta seakan tak merestui keduanya.

"Terima kasih." ucap Angga pada salah satu resepsionis tadi, lalu menyusul Alana.

Angga menghentikan langkahnya, melihat Alana yang masih berdiri jauh dari ruang operasi berada, gadis itu terlihat enggan untuk mendekat. Dari tempatnya, Angga dapat melihat beberapa orang yang ikut menunggu Nathaniel diluar ruang operasi, termasuk Aditya.

Angga mengerti, mungkin itulah yang membuat sang putri menghentikan langkahnya, seakan ragu. Angga kemudian mendekat pada Alana, memegang kedua pundak gadis itu.

Dirasakan sebuah sentuhan pada pundaknya, Alana tahu, itu Papanya. Gadis itu kemudian menoleh pada sang papa dengan raut wajahnya yang terlihat sendu.

"Pa, sekarang Alana harus gimana?" suara Alana terdengar parau.

Angga kemudian mengubah posisi Alana, menghadap dirinya. Masih dengan tangan yang berada dikedua pundaknya, Angga sedikit menunduk, menyamakan tinggi putrinya.

"Bisa sayang bisa, kamu bisa! Percaya sama Papa, putri papa kuat, Alana kuat. Kita kesini sama-sama mengharapkan kesembuhan Nathaniel. Terlepas dari yang lain, kamu kesini datang untuk Nathaniel. Hm?"

Alana menatap netra Sang papa lekat, Sang papa yang tengah meyakinkan dirinya kini, membuat Alana tersentuh. Alana kemudian mengangguk, menolehkan kepalanya pada ruang didepan sana. Menarik napas panjang, Alana menatap Sang papa yang mengangguk padanya.

Dengan perlahan tapi pasti, Alana mulai mengambil langkah kembali, namun kali ini ia tak sendiri, melainkan berjalan bersama dengan Angga disampingnya. Selangkah demi selangkah Alana ambil, Alana semakin dekat. Membuat suara langkahnya dan Sang papa mengalihkan atensi orang-orang yang berada disana.

Alana dapat melihat Galang, Arga dan Jenaka yang menoleh padanya. Dengan tatapan yang tak bisa Alana artikan, netranya berpindah pada kedua sosok yang lain disana, itu Papa Nathaniel, dan Alana tak tahu siapa wanita yang berada disamping pria itu.

Kedua orang itu tetap pada tempatnya, tak sekalipun menoleh saat mendengar langkah kakinya mendekat. Alana mengeratkan pegangannya pada Sang papa, mendekat kearah Galang, Arga dan Jenaka disana.

"El.. Gimana??" gadis itu terdengar lemah, suaranya pelan tak seperti Alana pada biasanya.

Ketiganya menatap Alana iba, seakan-akan merasa kasihan. Dapat Alana lihat Galang menggelengkan kepala, merespon pertanyaannya. Lagi-lagi Alana memejamkan mata erat, berusaha mengendalikan dirinya, agar tak goyah.

"Sayang kita duduk aja ya?" dirasakan Alana yang sedikit goyah, Angga sontak khawatir pada putrinya.

Angga lalu membawa Alana duduk dikursi tunggu, pada sisi kanan. Angga dapat melihat Aditya yang masih terus menunduk, seakan tak peduli pada sekitar. Netranya juga menangkap seorang wanita disampingnya, yang Angga yakini adalah istri Aditya.
.
.
.

Dua jam telah berlalu, Namun tak ada tanda-tanda bahwa ruang operasi tersebut akan terbuka menampakkan sebuah dokter yang keluar dari dalam. Semakin menambah kecemasan Aditya tak karuan. Intan selalu setia menemani suaminya itu, tak pernah bergerak sejak Dua jam yang lalu.

Dalam diamnya, Intan terus saja merematkan doa pada Sang pencipta. Berharap akan keselamatan Nathaniel didalam, Intan tak akan bisa membayangkan bagaimana reaksi Aditya saat Tuhan mengambil Nathaniel darinya.

-

Hingga tak lama, lampu ruang operasi tersebut tak lagi menyala terang. Menampakkan seorang dokter yang keluar dari dalam.

Aditya sontak saja berdiri, lelaki itu terlihat kalut, netranya bergerak berusaha mengintip kedalam ruangan, namun sia-sia. Galang, Arga dan Jenaka bahkan ikut berdiri, ingin mengetahui keadaan Nathaniel kini. Alana reflek ikut mendekat, kearah dokter tersebut, namun kakinya terhenti seketika, tak ingin melangkah lebih dari itu.

Hingga sang dokter akhirnya membuka suara.

"Operasinya berjalan dengan lancar, namun kondisi pasien kini masih dalam pengawasan ketat. Kami masih belum dapat memastikan bahwa saudara Nathaniel telah aman dari bahaya.
Kondisi pasien saat ini sedang kritis, kami berharap Bapak dan ibu sekalian banyak-banyak mendoakan keadaanya, berharap ada keajaiban dari yang maha kuasa."

Aditya terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa, namun didalam hatinya  Aditya merasakan sesak yang sangat, Masih tak dapat menerima apa yang dokter itu katakan. Intan menjatuhkan air matanya, setelah mendengarkan apa yang dokter itu ucapkan, tangan perempuan itu lalu beralih memegang lengan Aditya erat, berusaha menguatkan.

Alana sontak goyah, termundur kebelakang. Dengan reflek Angga memegang putrinya agar tak jatuh. Alana mengangkat tangannya, menutup mulutnya tak menyangka, kembali meneteskan air matanya.

Galang, Arga dan Jenaka ikut tak dapat bereaksi apa-apa. Ketiganya sama-sama terkejut mendengar pernyataan yang keluar dari Sang dokter, membuat ketiganya menahan sesak mendalam. Ikut menangis dalam diam.

"Saudara Nathaniel akan segera dipindahkan keruang UGD. Pak Aditya, silahkan keruangan saya, Ada yang perlu saya bicarakan." dokter itu kembali bersuara.

Aditya hanya mengangguk sebagai balasan, tak berniat bersuara.

"Saya permisi." sang dokter mengangguk sekali, pamit undur diri dari sana.

Sang dokter berjalan didepan dengan Aditya yang mengekorinya dari belakang. Bahkan hingga punggung pria itu menghilang dari kejauhan, Aditya masih tak menyadari keberadaan Angga dan Alana disana.

-

Aditya telah duduk berhadapan diruangan Sang dokter. Tampak dari ekspresi dokter tersebut, dapat Aditya yakini bahwa keadaan Nathaniel mungkin lebih parah dari itu.

"Maaf sebelumnya, Pak Aditya. Saya harus menyampainya berita yang mungkin tidak mengenakkan pada bapak. Kondisi Nathaniel kini sebenarnya lebih parah dari apa yang saya jelaskan tadi. Bentrokan yang Nathaniel alami, sangat kuat dikepalanya. Membuat Nathaniel mengalami patah tulang tengkorak, namun kami telah meminimalisir dampak dari itu dengan operasi yang telah kami lakukan."

Aditya mendengarkan dokter tersebut dengan lamat, sedikit merasakan lega namun, ucapan sang dokter selanjutnya seakan membuat Aditya menghentikan jantungnya.

"Tapi pak Aditya.. Nathaniel tak hanya mengalami patah tulang tengkorak, ia juga mengalami Hematoma. Kondisi dimana pecahnya pembuluh darah yang ada disekitar otak, yang mengakibatkan darah mengumpal atau membeku dicelah antara otak dan tulang tengkorak, lalu membentuk Hematoma. Hal inilah yang membuat kami masih tak dapat memastikan bahwa Nathaniel telah aman dari bahaya."

Deg!

Bagai disambar petir, Aditya seakan dijatuhkan oleh bebatuan besar berkali-kali.







Tbc.

Something that can't be TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang