Bab 2 - Sane

52 14 35
                                        

Hari esok pun tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari esok pun tiba.

Bangun tidur, mandi, lalu sarapan menjadi kegiatan wajib setiap orang di pagi hari. Namun, bagi Sane sarapan bukanlah kegiatan wajib.

Buktinya, pagi ini dia berangkat sekolah tanpa sarapan, membiarkan perutnya keroncongan. Padahal, Angelo telah memperingatkannya.

"Kau harus sarapan Sane. Kalau tidak, kau tidak bisa fokus belajar."

Namun Sane tak menghiraukannya.

"Nanti saja. Sebentar lagi terlambat."

Dua laki-laki itu kini berlarian di sepanjang jalan. Tak jarang mereka berpapasan dengan siswa SMA lain dari arah yang berlawanan. Mereka mengenakan seragam yang berbeda dari Sane.

Lebih tepatnya, seragam Sane yang berbeda dengan seragam SMA pada umumnya. SMA Sane adalah sekolah elit, sehingga segala-segalanya serba berbeda.

Warna pada seragam tetaplah sama–putih untuk atasan, abu-abu untuk bawahan dan dasi. Perbedaannya adalah Sane memakai baju berlengan panjang dan celana panjang.

Seragam SMA Sane juga hadir dengan tambahan jas hitam sebagai luaran. Memang panas saat dikenakan, namun aturan tetaplah aturan.

Angelo menyadari perbedaan ini.

"Seragam mereka berbeda dari seragammu," bocah itu berkomentar.

"Ya begitulah," jawab Sane tak bersemangat.

Mereka tiba di depan gerbang sekolah dengan terengah-engah–tepatnya hanya Sane yang kelelahan.

Gerbang sekolah tersusun dari dua bagian: pagar dan gapura.

Pagar berwarna putih dan terbuat dari logam. Tingginya sepinggang orang dewasa. Di atas pagar terdapat dinding yang merupakan gapura.

Di atas gapura terdapat papan besi yang bertuliskan: SMA Pelajar Nasional.

Jam yang terpasang di gapura menunjukkan bahwa lima menit lagi gerbang akan ditutup.

Seorang satpam merentangkan kedua tangannya di depan kedua laki-laki itu.

"Orang asing tidak boleh masuk!" teriaknya.

Angelo melirik halaman sekolah di balik tegapnya badan si satpam. Netranya menangkap puluhan remaja seusia Sane sedang berjalan menuju kelas–ruangan di sekeliling bangunan sekolah yang berdinding kuning.

Dua tiga remaja saling bercengkrama. Sungguh, kehidupan biasa siswa SMA.

Mata Angelo kini berpindah pada Sane yang berdiri satu langkah di depannya.

Hanya Sane-lah yang boleh masuk. Perbedaan pada seragam memudahkan satpam untuk memilah, mana orang asing dan mana siswa SMA elit itu.

"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Angelo seraya melambaikan tangan.

Monumen KubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang