Bab 17

5 1 0
                                    

Hening

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hening.

Takayuki tertegun. Bagaimana mungkin? Remaja yang pendiam, penakut, dan tak berdaya dapat selantang itu berseru, benaknya.

"Misi kalian sudah selesai. Mulai seterusnya adalah misi kami," sambungnya.

Tatapan mata Sane penuh percaya diri. Mengisyaratkan aku akan menang.

Demi melihat ekspresi Sane, Mitsuki berseru sarkas, "Woah, hebat! Hebat!" seraya berkacak pinggang.

"Bisakah kau bertarung?" tanya Takayuki, ragu.

"Penjelasannya panjang," Sane tak sabar, "Pokoknya, kalian mundur. Ini adalah pertarungan kami."

"Baiklah jika itu maumu," Mitsuki menurut.

Samurai itu berbalik. Kedua pedangnya kembali disarungkan.

Ia berjalan gontai menuju kereta kuda yang kebingungan ditinggal tuannya.

"Sebelum itu, bawalah ini," Sane menjentikkan jari.

Seperti sihir, lembar-lembaran uang muncul di tanah, menggunung saking banyaknya. Kepingan logam emas bertaburan di sekelilingnya.

"Woah-ouh. Sesuai janjimu," Mitsuki meraup tumpukan itu bagai orang kelaparan.

Lagi-lagi Takayuki dibuat heran dengan perbuatan remaja berambut hitam itu.

Siapa dia sebenarnya?

"Kau juga, Takayuki. Ini adalah bentuk apresiasi dari kami," ucapan Sane membangunkan samurai itu dari lamunannya.

Takayuki menggeleng. Dia berucap tegas, "Tidak."

"Kenapa?" Sane memiringkan kepala.

Takayuki berdiri sejajar dengan Sane. Samurai itu memasang sikap siaga. Ujung pedangnya tertuju pada wajah Frank.

"Sejak awal, rombongan ini bukanlah bagian dariku. Tujuan kita tidak sama. Urusan pribadi dengan Klan Fujimoto kupunyai."

"Tidak, Takayuki. Kau harus mundur. Atau–"

Namun Frank telah maju menghunus katana. "Majulah kalian berdua!"

Adu serangan tak terelakkan. Takayuki melayani Frank. Dua katana bertubrukan di udara.

-

Mitsuki menghentak dengan badan gemuk. Kepingan-kepingan uang dijejalkannya begitu saja ke sela-sela zirah birunya.

Samurai itu membelai rambut kecoklatan dari seekor kuda yang hendak ditumpanginya.

"Kita pulang," Mitsuki bergumam.

Mitsuki melompat ke pelana kuda itu. Tangannya menggenggam erat tali yang dikalungkan di tengkuk hewan itu.

Dalam sebuah lecutan, kuda bersurai kecoklatan itu melangkah, berderap meninggalkan jalanan yang penuh akan tumpukan-tumpukan samurai tak bernyawa.

Monumen KubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang