Sane Enesta adalah seorang siswa SMA biasa. Ia tidak populer, tidak pula mencolok. Satu-satunya kelebihan yang ia miliki adalah selalu mendapatkan nilai bagus. Namun, bagi Sane yang pesimis, apalagi fakta bahwa SMA Pelajar Nasional adalah sekolah el...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam itu, bintang berkelap-kelip di langit.
Sebuah fenomena alam. Biasanya, polusi udara di langit perkotaan menutupi bintang-bintang.
Bintang yang paling besar memancarkan cahaya kemerahan. Sinarnya paling terang di antara bintang-bintang lain.
Bintang utara? Bukan. Bintang itu tak berada di langit utara. Tak pula menyusun rasi apa pun. Bintang kejora? Juga bukan.
Lantas, bintang apakah itu?
Bintang itu berdiri di puncak bangunan pencakar langit tertinggi. Cahaya merahnya mewujud menjadi sosok remaja laki-laki berambut lancip. Di wajahnya terdapat bekas luka yang melintang mencoret matanya.
Remaja itu menapakkan kaki di udara.Pandangannya menyapu penjuru kota.
Inikah zaman modern yang ramai dibincangkan itu? Kenapa Tuan Enesta ingin melindungi kota seperti ini?
Matanya yang terluka menyipit. Lalu, seperti mikroskop, pemandangan kota seolah membesar di pandangannya. Remaja itu melihat menembus bangunan, menyusuri jalanan.
Tibalah ia di pusat kota.
Di kota mana pun. balai kota pasti berdiri di pusat kota. Dan di hadapan balai kota pastilah alun-alun kota.
Tatapan remaja itu tertuju pada monumen yang berada di tengah alun-alun. Monumen berbentuk kubus.
Aku menemukanmu, Monumen Kubus.
-
Sane terbangun.
Remaja itu tahu hari masih malam. Jangkrik berbunyi nyaring adalah pertandanya. Juga lolongan burung hantu.
Sambil mengusap mata, ia melirik jendela.
Jendela kamar Sane tak bergorden. Langit malam segera terhampar di hadapan remaja itu.
Langit merah, padahal bukan petang, bukan pula fajar.
Apa ini? pikirnya.
Kejadian malam itu tak hanya mengejutkan Sane. Di sekolah, semua orang membahas fenomena yang sama.
"Aku kebangun tengah malam dan langitnya berwarna merah!" Udin berseru. Keripik di genggamannya hampir terjatuh.
"Masih mending, Din," Dio menyela. "Semalam aku bergadang!"
"Langitnya merah, kan?"
"Gak tahu. Aku lagi otak-atik barang. Gak begitu memperhatikan."
Udin menepuk wajah. Jika demikian, untuk apa Dio mengatakan kalau dia bergadang?