Bab 3 - Angelo

44 13 10
                                    

Dio menghampiri Sane yang sedang merenung di bangkunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dio menghampiri Sane yang sedang merenung di bangkunya.

Remaja itu duduk dengan lengan menopang kepala. Tatapannya tertuju pada kabut di luar jendela.

Pagi ini begitu dingin.

"Sane," Dio memanggil.

Sane menoleh.

"Pekerjaan kita yang kemarin masih di rumahmu, kan?" Dio bertanya.

Sane mengangguk.

"Saudaramu tidak meng-apa-apa-kan-nya, kan?"

"Ti-tidak."

"Oh iya." Dio memberi jeda di antara perkataannya. "Saudaramu itu ... apa dia tinggal lama di sini?"

Sane terdiam. Seluruh tubuhnya terasa panas, seolah berada di sauna. Keringat dingin membasahi kepalanya. Pastilah Dio menyadari ada yang tak beres.

"Ke-kenapa memangnya?" Sane balas bertanya.

"Tidak kenapa-napa, sih."

Dio memandang jendela. Kabut menyelimuti halaman sekolah yang seharusnya tampak dari situ.

"Apa dia akan menjemputmu lagi?"

Sane menggeleng. "Sepertinya tidak. Saudaraku sedang sibuk."

Dio mengangguk. Jawaban Sane memuaskannya.

Bel masuk berbunyi nyaring. Suaranya bak alarm kebakaran. Alih-alih ke luar, seluruh siswa berlarian ke bangkunya masing-masing.

Pak Adam guru matematika memasuki kelas.

"Selamat pagi anak-anak!" sapanya.

"Pagi pak!"

Seisi kelas menjawab kompak, kecuali seorang siswi yang sibuk mengeluarkan segala macam alat tulis dari ranselnya.

"Nilai tertinggi ulangan harian didapatkan oleh–"

Beginilah cara mengajar Pak Adam Hamid Spd, Mpd.

Setiap selesai ulangan, beliau selalu menyampaikan nama siswa dengan nilai tertinggi. Tujuannya bagus, untuk memotivasi.

Namun tak sedikit siswa yang malah tertekan olehnya.

"–Sane Enesta dengan nilai delapan puluh dua."

Seisi kelas ricuh, bertepuk tangan. Mereka memuji Sane.

Sane menenggelamkan kepalanya ke atas meja. Dia tak senang. Nilai delapan puluh dua kecil dibandingkan perjuangannya belajar malam itu.

Apakah ini 'misi berhasil' yang diinginkan Angelo?

Jika delapan puluh dua adalah nilai tertinggi, bagaimana dengan nilai terendah?

"Untuk yang lain, aku kecewa. Semuanya remidi kecuali Sane."

Suasana senang berubah menjadi kekecewaan. Remidi adalah mimpi buruk bagi setiap siswa, bahkan siswa paling pintar sekalipun.

Monumen KubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang