Bab 13

19 3 0
                                    

Merah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Merah.

Sejauh mata memandang, terhampar lautan darah.

Mayat-mayat berserakan di penjuru bumi.

Tuk.

Bunyi pijakan sepatu besi.

Sosok berbaju zirah berdiri, menjulang di tengah-tengah pemandangan mengerikan itu. Bercak kemerahan di zirahnya memantulkan cahaya matahari.

Ia menatap bilah katana-nya yang berlumuran darah.

Pedang itu menyabet udara, lantas kembali disarungkan.

Sang Samurai melepas masker besi yang menyembunyikan mulutnya.

Aroma sangit tercium. Ia telah terbiasa.

Tatapannya tertuju pada sosok bertubuh paling kurus di antara tumpukan-tumpukan mayat.

"Ikuti aku," ucapnya datar.

Sang Samurai memikul tubuh tak bernyawa itu.

Di bawah terbenamnya matahari, siluet Sang Samurai menjulang tinggi. Tumpukan mayat bagai bayangan dilangkahinya begitu saja.

-

Sang Samurai menghentikan langkahnya.

Pandangannya yang setajam elang mengedar ke penjuru tempat itu.

Sejauh mata memandang tak terlihat satupun makhluk hidup.

Tanaman bambu berderet-deret. Sekilas seolah mengurung tempat itu. Bila diamati lebih jelas, bambu-bambu itu sesungguhnya membentuk labirin.

Belum datang, kah?

Di tempat inilah Sang Samurai telah mengukir janji untuk menemui seseorang. Seseorang yang agaknya melupakan janji itu.

Tak baik berprasangka.

Dari sudut langit, seorang laki-laki bertubuh tegap berjalan mendekat. Rambutnya yang telah memutih tergerai hingga pundak.

Seluruh tubuh laki-laki itu diselimuti zirah logam. Berat memang. Laki-laki itu berjalan dengan menggeser kaki.

Sang Samurai menyambut kedatangan laki-laki itu dengan helaan nafas.

Ia meletakkan tubuh yang dipikulnya. Seketika, pundaknya seolah melepaskan beban berpuluh-puluh kilo beratnya.

Sosok berzirah itu memandang sejenak.

"Kau dan tugasmu sudah selesai," ia berkata dingin.

Tak mengapresiasi. Tak pula mengucapkan terima kasih.

Laki-laki itu menyodorkan secarik amplop. Mulut amplop itu disegel oleh cap merah berlambang bunga teratai.

"Ini bayaranmu," ujarnya ketus.

"Terima kasih, Tuan."

Begitu amplop jatuh ke tangan Sang Samurai, sosok berzirah memalingkan pandangan.

Monumen KubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang