Sejak kejadian tadi pagi Rea benar-benar telah berubah. Saat di sekolah dia enggan menatap Bevan saat berpapasan, dan saat di rumah Rea tidak banyak berbicara. Sudah cukup Rea menyiksa dirinya sendiri.
"Ambilin buku gue di meja belajar!" perintah Bevan.
Rea mengambil asal buku yang ada di meja belajar lalu memberikannya kepada Bevan.
"Bukan matematika, tapi bahasa Inggris. Lo ngerti nggak sih?!" Sorot mata Bevan terlihat tajam.
Rea kembali berjalan ke meja belajar dan mengambil buku bahasa Inggris milik Bevan.
Bevan menerima buku itu. "Duduk samping gue."
Rea hanya menurut, dan naik ke atas kasur lalu duduk di samping Bevan.
"Lo kenapa sih diem mulu? Bisu lo!" Entah kenapa sikap Rea yang tiba-tiba pendiam begitu mengganjal di hati Bevan.
Rea hanya diam menatap lurus ke depan. Pikirannya kini tertuju pada kejadian tadi pagi, dada Rea terasa sesak saat mengingat itu semua. Tanpa sadar air mata Rea terjatuh begitu saja, ia menghapus kasar air matanya menggunakan punggung tangannya.
"Lo marah soal kejadian tadi pagi?" Bevan menatap Rea.
"Aku serendah itu ya kak?" Rea tertawa hambar. "Anak pembantu? Sadar nggak? Ibu aku itu mertua kakak."
"Baperan lo! Gue tadi ngomong kayak gitu cuma biar Tania nggak curiga." Bevan sama sekali tidak terlihat merasa bersalah.
Rea menatap Bevan dengan mata yang berair. "Aku yang baperan atau kakak yang nggak punya hati?"
Bevan berdecak pelan. "Udah deh nggak usah drama, cuma gitu aja di bikin masalah."
"Terus aja salahin aku kak, aku emang selalu salah di mata kakak." Rea menelungkupkan kepalanya di atas lipatan tangannya, gadis itu sudah tidak bisa menahan tangisnya.
"Heh jangan nangis! Lo kenapa jadi baperan gini sih," ujar Bevan.
Rea perlahan menghapus air matanya. Ia masih sedikit sesenggukan, dirinya benar-benar tidak habis pikir dengan Bevan. Bukannya meminta maaf Bevan justru malah menghinanya dan mengatainya baperan.
"Kalau aku bilang mama kakak itu cuma pembantu gimana?" Rea menatap datar Bevan.
"Re!" Bevan hampir saja menampar Rea.
"Nggak terima kan kak, aku juga sama nggak terima!" Rea berteriak, kesabarannya sudah habis.
"Lo jangan bikin gue marah ya Re!" sentak Bevan.
"Kak aku capek, sekarang mau kakak apa? Mau cerai? Silahkan." Rea menatap depan dengan tatapan kosong.
"Lo mau bikin gue di marahin sama orang tua gue?!" Bevan tampak marah.
"Lagi-lagi kakak cuma mikirin diri sendiri, egois!" Rea menghapus air matanya dan segera keluar kamar.
***
Rea duduk di taman belakang rumah, air matanya tak kunjung berhenti. Renald menatap Rea dari kejauhan, karena sudah tidak tahan lagi Renald akhirnya menghampiri Rea dan duduk di sampingnya.
"Kakak ipar," panggil Renald.
Rea bergegas menghapus air matanya dan tersenyum. "Eh Renald, kamu kok ada di sini?"
"Sengaja, mau nemenin bidadari." Renald menatap lurus ke depan.
"Hah? Bidadari? Orang aku daritadi di sini sendirian. Nggak ada bidadari di sini," ujar Rea.
"Ada kok, nih orangnya." Renald menunjuk Rea.
"Apa sih." Rea tertawa pelan.
Renald menghapus sisa air mata di pipi Rea. "Nangis lagi, kenapa? Karena film?"
"Iya, filmnya tadi sedih banget Ren." Rea berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Renald terdiam, sebenarnya cowok itu tahu segalanya hanya saja dia pura-pura tidak tahu. Jika yang ada di posisi Bevan adalah Renald, ia pasti akan membahagiakan Rea bukan malah menyakitinya.
"Jangan nangis lagi." Renald menarik kencang pipi Rea.
Rea melotot. "Renald sakit!"
Renald tertawa. "Sengaja, biar lo marah. Lo mending marah, jangan nangis gue nggak suka."
Bersambung...
Giliran Rea nya udah mau cerai Bevan nya nggak mau? Minta di apain tuh si Bevan?😌
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Luka
Ficción GeneralTentang perjodohan dan juga luka. ~~~ Menikah dengan kakak kelas yang selama ini di cintainya sama sekali tidak membuat Rea bahagia. Rea pikir perjodohan itu akan membawa kebahagiaan untuknya, namun yang Rea dapat hanya luka dan luka. Lelaki itu ber...