•27•

54.8K 2.9K 111
                                    

Rea sudah siap pergi ke sekolah bersama dengan Renald, tidak jauh dari mereka ada Bevan yang berdiri dengan tatapan yang tertuju pada Rea.

'Mereka berdua nggak bisa kayak gini terus kan?' Renald menatap Bevan sekilas kemudian menghela nafas.

"Ren ayo berangkat," ujar Rea.

Renald berjongkok dan pura-pura melihat motornya. "Re, kayaknya mesin motor gue agak bermasalah deh."

Rea menunduk. "Masa? Emang motornya nggak bisa nyala?"

"Ya bisa, cuma gue takut kalau entar motornya mogok di jalan." Tentu saja Renald berbohong.

"Padahal hari ini aku piket." Rea tampak kecewa.

"Gini aja, lo berangkat bareng Bang Bevan aja ya," ucap Renald.

Rea menggeleng. "Nggak Ren ... Aku nggak mau."

Renald berdiri dan memanggil Bevan, ia tidak peduli walaupun Rea menolak berangkat bersama Bevan. Renald rela berpura-pura motornya bermasalah agar Rea bisa berangkat bersama Bevan

Renald tahu Rea masih mencintai Bevan, ia bisa melihatnya. Bevan berjalan ke arah Renald dan Rea. Tatapan yang biasa terlihat tajam kini berubah menjadi teduh saat menatap Rea.

"Kenapa?" Bevan menatap Renald.

"Ini Bang, mesin motor gue kayaknya bermasalah deh. Rea bisa kan berangkat bareng lo?" tanya Renald.

"Bisa, bareng aja gapapa," balas Bevan.

"Nggak, aku mau naik taksi aja." Tentu saja Rea tidak mau semobil dengan Bevan.

"Udah, lo berangkat bareng Bang Bevan aja. Lo kan harus piket, nurut sama gue." Renald mendorong pelan bahu Rea.

"Ya udah lah." Dengan perasaan terpaksa Rea berjalan terlebih dahulu ke mobil Bevan.

"Lo nggak sekalian bareng Ren? katanya mesin motor lo bermasalah." Bevan menatap motor Renald.

Renald tertawa. "Gue cuma pura-pura Bang, biar lo bisa berangkat bareng Rea. Jangan kecewain dia lagi ya Bang."

Bevan tersenyum. "Thanks, gue nggak akan kecewain dia lagi."

***

Sepanjang perjalanan, Rea terus menatap ke arah jendela. Rea sudah siap jika sewaktu-waktu akan di turunkan di pinggir jalan. Lagipula Rea sudah terbiasa akan hal itu.

"Nggak usah takut, gue nggak akan turunin lo di pinggir jalan." Bevan melirik Rea sekilas.

"Di turunin juga gapapa, lagian lo emang kayak gitu kan ... Tega." Rea masih enggan menatap Bevan.

Bevan tertawa mendengar ucapan Rea yang kelewatan jujur. "Iya gue tega, gue emang jahat. Gue pernah turunin cewek secantik lo di pinggir jalan."

Rea menatap sinis Bevan. "Cantik? Bukannya dulu lo bilang gue jelek, rendahan, gampangan. Gue emang pantes kok di turunin di tengah jalan."

Bevan tampak menghela nafas panjang. "Jangan di bahas lagi Re."

"Kenapa? Merasa tertampar ya?" Rea tertawa remeh.

Bevan diam dan menatap lurus ke depan, lagi-lagi Bevan tidak bisa menyangkal. Rea juga ikut diam dan kembali menatap jendela. Ia tidak akan memaafkan Bevan semudah itu.

Ini bukan film Indosiar, dimana Rea sudah banyak terluka kemudian semua selesai begitu saja hanya dengan kata maaf. Semuanya tidak sesederhana itu, memaafkan itu tidaklah mudah.

"Kali ini gue nggak bakal turunin lo di pinggir jalan." Bevan menatap Rea sejenak sambil tersenyum.

"Gue nggak peduli." Rea terlihat acuh.

"Gue anterin lo sampek ke kelas, kalau perlu gue gandeng sekalian," ujar Bevan.

Rea menoleh, kedua matanya melebar. "Nggak sudi gue di gandeng sama lo."

"Kalau nggak sudi di gandeng berarti lo maunya di gendong. Fiks, nanti gue gendong." Bevan terkekeh pelan.

"Ogah! Gue nggak mau!" Raut wajah Rea tertekuk kesal.

Bevan tersenyum geli dan mengelus rambut Rea. "Lo gemesin kalau lagi kesel."

"Apa sih, nggak usah pegang-pegang." Rea menepis tangan Bevan.

Rea memalingkan wajahnya dengan kedua pipi yang memerah, jantungnya tiba-tiba saja berdebar. Bevan mendengus geli, Rea benar-benar terlihat sangat menggemaskan.

Bevan menyesal telah menyakiti Rea, harusnya dari awal Bevan memutuskan Tania dan belajar mencintai Rea. Bevan telah melukai Rea, tapi ia juga telah melukai Tania.

'Gue harap dimana pun lo berada, lo bakal bahagia Tan. Gue bakal berusaha ikhlasin lo,' batin Bevan.

Bevan menggenggam tangan Rea dan mencium punggung tangannya. "Gue akan belajar mencintai lo Re."

"Lepas!" ketus Rea.

"Biarin gue genggam tangan lo, biar gue tahu rasanya genggam tangan istri gue," ucap Bevan yang membuat kedua pipi Rea bersemu merah.

"Apa sih, nggak jelas. Lepasin tangan gue!" Rea pura-pura tidak suka, sementara Bevan semakin mengeratkan genggaman tangannya.

Bersambung...

Kurang baik apa Renald jadi adek?

 

   













  

Serpihan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang