•12•

53.1K 3.2K 159
                                    

Bevan menemui Tania di taman, cowok itu tampak tersenyum lebar. Tentu saja Bevan sangat senang bisa bertemu dengan Tania. Bevan merasa bosan di rumah karena setiap saat dirinya harus bertemu Rea.

"Bevan, aku mau kita putus," ucap Tania.

Senyum Bevan luntur saat itu juga. "Kamu bercanda ya? Kamu pasti mau ngeprank aku kan?"

Tania menggeleng pelan. "Aku serius, aku mau kita putus."

Bevan memegang tangan Tania. "Aku nggak mau Tan, please jangan kayak gini."

"Tapi kamu udah nikah, nggak mungkin aku masih pacaran sama kamu." Tania menarik tangannya dari genggaman Bevan.

Tubuh Bevan membeku. "Siapa yang ngasih tahu kamu? Rea yang ngasih tahu?"

Tania memalingkan wajahnya berusaha untuk menahan tangisnya. "Nggak penting siapa orang yang udah ngasih tahu aku."

"Tan, aku sayang sama kamu." Bevan menatap sendu Tania.

Bevan memeluk Tania erat, ia tidak ingin putus dengan Tania. Bevan tidak bisa membiarkan hubungannya yang terjalin selama tiga tahun kandas begitu saja. Semua ini terjadi karena perjodohan itu.

Tania terisak pelan, tentu saja ia merasa sangat sedih. Di sisi lain Tania tidak bisa egois, Bevan sudah mempunyai istri dan Tania sadar akan hal itu. Sampai kapanpun Bevan dan Tania tidak akan bisa bersatu.

"Udah jangan gini, kamu harus sadar kalau kamu itu udah punya istri." Tania mendorong tubuh Bevan.

"Aku nggak cinta sama dia Tania, aku cintanya sama kamu!" sergah Bevan.

Tania memejamkan matanya sejenak. "Bevan udah, kita nggak bisa sama-sama lagi."

Bevan menggeleng dan mengenggam erat tangan Tania. "Aku nggak mau putus sama kamu."

"Mulai sekarang kita cuma temen sekelas nggak lebih." Tania melepaskan tangan Bevan lalu berlari pergi meninggalkan Bevan.

Tania terus berlari dan menghapus air matanya kasar. Bevan menatap punggung Tania dengan tangan yang mengepal. Bevan benar-benar akan memberi pelajaran kepada orang yang telah membuat dirinya dengan Tania putus.

"Rea." Pikiran Bevan kini hanya tertuju pada gadis itu.

***

Suasana rumah sangat sepi, Bila dan Bagus sedang pergi, sementara Renald juga pergi untuk kerja kelompok. Dengan perasaan marah Bevan berjalan ke arah kamarnya. Cowok itu menutup kasar pintu kamar.

"Puas kan lo sekarang?!" Bevan menarik kasar lengan Rea membuat gadis itu berdiri.

"Kak, kakak kenapa?" Rea sama sekali tidak mengerti.

"Nggak usah sok polos lo! Lo kan yang ngasih tahu ke Tania kalau gue udah nikah?!" Bevan berteriak marah.

Rea menggeleng cepat. "Aku nggak ngasih tahu kak Tania."

"Boong, munafik lo! Nggak usah sandiwara lagi, gue nggak akan pernah ketipu sama wajah sok polos lo!" Bevan menarik rambut belakang Rea.

Rea meringis kesakitan sambil memegangi tangan Bevan. "Kak lepasin, sakit kak ... hiks."

"Buat apa lo ngasih tahu Tania? Mau caper lo, dasar nggak guna!" sentak Bevan.

"Bukan aku kak," balas Rea.

Bevan mendorong kasar tubuh Rea dan menghempaskannya membuat gadis itu terduduk di lantai dengan punggung yang membentur dinding. Rea memejamkan matanya bersamaan dengan air matanya yang turun.

Kepala Rea berdenyut nyeri, bahkan tubuhnya terasa remuk. Rea sama sekali tidak bohong, ia tidak berbicara apa-apa kepada Tania. Entah mengapa semuanya menjadi semakin rumit, dan Bevan terus saja menyalahkan dirinya.

"Sekarang gue udah putus sama Tania, sekarang lo seneng kan?!" Bevan berdiri di depan Rea.

Rea menatap Bevan. "Kak percaya sama aku, bukan aku yang ngasih tahu kak Tania."

"Nggak punya muka ya lo, udah ketahuan tapi masih aja boong. Lo itu cuma parasit, lo itu sama sekali nggak guna. Mati aja sana!" Bevan benar-benar marah.

Rea perlahan berdiri. "Kenapa sih kak? kenapa kakak selalu nyalahin aku. Yang sakit itu nggak cuma kakak, aku juga kak."

"Lo jawab jujur, lo kan yang udah ngasih tahu Tania?!" Sorot mata Bevan terlihat tajam.

"Iya." Rea terpaksa mengatakan itu karena percuma saja jika dirinya jujur.

"Kurang ajar lo!" Bevan menampar pipi Rea.

Wajah Rea tertoleh ke samping, air matanya semakin berjatuhan. Rea mencengkram erat baju Bevan. "Bunuh aku sekalian kak, sekalipun aku bilang nggak seratus kali kakak nggak bakal percaya kan sama aku."

Bevan berusaha memberontak tapi cengkraman Rea di bajunya terlalu erat. Rea menatap lekat Bevan, ia benar-benar sudah lelah. Rea sudah berkali-kali jujur tapi Bevan tetap tak percaya.

"Lepas, nggak sudi gue di sentuh sama lo!" Bevan berusaha menyingkirkan tangan Rea.

"Serendah itu aku di mata kakak? Bahkan walaupun kak Tania bunuh aku, kakak pasti bakal tetep belain dia kan? Kak ... Aku nyesel udah cinta sama kakak." Rea mendorong kasar tubuh Bevan kemudian keluar kamar dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

Bersambung...

Kata apa yang mewakili hati kalian untuk Bevan?

Kira-kira siapa yang udah ngomong ke Tania?

Serpihan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang