Luna POV
Hari itu juga kami turun gunung. Setelah merapihkan semua alat dan kembali disimpan dalam carier, kami pun berjalan santai. Sesekali kami istirahat dengan duduk-duduk, menatap cakrawala dan menyesap coklat hangat. Entah mengapa perjalanan turun gunung lebih cepat dari pada saat mendaki. Hanya memakan waktu 1 jam.
Entah hanya perasaanku atau memang perjalanan ini membawa perubahan sikap pada Rival. Mungkin ini hanya perasaanku aaja, atau memang Rival bersikap lebih manis. Dari sikap, tingkah laku hingga tatapannya. Tetapi yang menjadi favoriteku adalah senyumannya. Senyumnya menjadi 1000 kali lebih manis. Aku khawatir akan menderita diabetes akut kalau terlalu lama memandangnya.
Kami kembali ke ranger dengan keadaan lelah. Pastinya wajahku terlihat... buluk. Huft, setelah berhasil berubah menjadi wanita seutuhnya, kini aku kembali menjadi upik abu gunung. Aku tak berani bercermin.
Hal pertama yang kulakukan adalah mandi. Memperbaiki diri sendiri, apalagi dihadapan Rival.
Tunggu, tunggu. Kenapa Rival menjadi alasanku. Apa urusannya kalau aku buluk? Aku rasa otak dan tubuhku tidak singkron. Otak miniku berfikir untuk melupakan lelaki itu, tapi tanganku berkata lain. Mereka malah menarik rok pendek berwarna merah dan sweater hijau lumut yang terlihat hangat dari dalam tas. Selagi mengenakan sweater, aku berfikir, kapan pula aku memasukan rok dasyat ini kedalam carrier. Aku dapat membayangkan tatapan warga desa melihatku berkeliaran menggunakan rok ini. Untung saja aku cukup waras untuk tidak memasukan wedges ke dalam carrier karena wedges merah marunku serasi bila dipadu kan dengan rok ini.
Begitu aku keluar dari toilet, semua tatapan jatuh padaku. Terutama rok sial ini, lalu turun kebawah menuju kakiku yang mengenakan sendal swallow. Perpaduan yang cantik. Aku melihat sudut bibir mereka berkedut. Huh! Aku ditertawakan.
"Apa kalian lihat-lihat? Seperti tidak pernah lihat wanita cantik saja," candaku sambil mengibaskan rambut. Pede sekali kata-kataku. Padahal dalam hati aku mengulang mantra yang sama, bodoh bodoh bodoh.
Kent yang paling cepat meguasai diri, langsung menghampiriku sambil tersenyum dengan mata jenaka. Huh, disini tidak ada yang pesan badut, tahu. "Luna miniku yang memakai rok mini juga, kami mau makan mie ongklok di kota. Jadi tuan putri sudah siap?"
Aku membuang muka, kesal. Mereka pura-pura bersikap manis padaku, walau dalam hati masih tertawa. Jangankan mereka, akupun merasa bodoh menggunakan rok ini.
Shen malah menghampiriku dan berkata, "hei, jangan buang muka dong. Nanti kupungut loh muka mu! Hahaha."
Mereka puas menertawaiku lalu berhenti begitu aku melempar sendalku kepada Shen yang kabur menjauhiku.
******
Aku terbangun dari mimpiku seolah ada yang meneriaki telingaku, merasakan ranjang kaku yang kutiduri. Tersadar aku kalau malam ini kami lewati di hotel tengah kota. Hotel terbaik yang kami temui, namun tetap berstandar bintang dua. Aku tak bisa menyalahkan hotelnya. Ini kan kota kecil, mana mungkin kami dapat menemukan hotel atau cottage seindah daerah wisata. Tapi kami tak mengeluh. Dari pada harus bermalam di mobil? Aku tak tega dengan mata kuyu para lelaki itu.
Sambil meregangkan otot, aku meraih jam tangan diatas meja. Pukul 02.00. Bukan waktu yang tepat untuk membangunkan teman-temanku yang berada di kamar lain. Namun rasa kantuk hilang begitu saja saat aku melirik jendela kecil diruangan ini. Beribu-ribu bintang berkedip balik menatapku, seolah mengajakku untuk memandangi mereka secara langsung.
Cepat-cepat aku meraih sepatu dan sweater lalu keluar, menuju atap hotel ini. Hotel kecil ini hanya memiliki 3 lantai dan atap yang terbuka.
Ternyata sudah ada yang mendahuluiku disana. Seorang lelaki dengan jaket dan tudung, terlihat berbaring dengan menggunakan telapak tangannya sebagai bantal. Rasanya aku ingat bentuk tubuh lelaki itu. Tubuh besar dan tegap, tungkai kaki yang sexy dan dada bidang yang ditutupi kaus juga jaket yang tidak di resleting. Bukankah itu Rival?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Romance6 tahun. Waktu yang cukup lama untuk melupakan orang yang kita cintai. Sayangnya satu tatapan darinya cukup membuatku merasakan sakit itu lagi. Tidak! Dia tidak mencintaiku. Begitu juga perasaanku seharusnya. -Raluna Rosallie Ruffman- 6 tahun. Waktu...