chapter 6

12.5K 542 8
                                    

Author POV

Luna memijat pelipisnya berkali-kali. Berkali-kali juga ia melirik tumpukan map di sudut mejanya. Entah kesambet apa, tiba-tiba sekretaris Rival memerintahkan Luna (mengatas namakan Rival) untuk merevisi laporan keuangan 2 bulan yang lalu. Itu artinya laporan keuangan tahun lalu yang seharusnya sudah tutup buku.

Alice, teman dekat Luna dari divisi humas melongokan kepalanya di balik sekat mejanya. Menatap kasihan Luna yamg terlihat setres. Penampilannya jauh dari rapi. Rambut Luna di cepol berantakan dengan headband melingkar di kepalanya.

"Oh my gosh, my Luna. Emang kejam ya bos ganteng kita. Untung ganteng, kalau mukanya kayak si Supri gitu sih udah gue garong mukanya," tunjuk Alice pada cowok hitam dengan gigi yang seperti pasukan paskibra sedang bubar, Supri dari divisi IT.

Luna terkekeh pelan. "Berantem mulu kerjaan lo bedua. Pamali. Ntar lo bedua jodoh lagi," sindir Luna asal.

Membayangkannya membuat Alice tampak ngeri. "Amit-amit deh Lun. Paling jodoh si Supri itu Lela."

Mereka terkikik membayangkan Lela, OB kantor ini yang memiliki kemiripan dengan Supri di bagian gigi.

Yang dibicarakan malah menyembulkan kepalanya. "Hei, ada apa itu cekikikan. Gue ga terima di omongin siang bolong gini!"

Terpancing emosinya, Alice langsung berdiri dan menunjuk Supri dengan dendam. "Nyambung aja lo kayak pulpen!"

Supri menoleh pada teman seperjuangannya, Togar Butar Butar, jong batak dari divisi yang sama dengannya. Merasa temannya membutuhkan sponsor, Togar ikut mengolok-olok Alice.

"Hei kau bule kw! Sudah, tak perlu kau tutup-tutupi lagi. Aku sudah tahu maksudmu tiap hari bertengkar dengan kami. Kau jatuh cinta kan dengan kami? Sekarang kau tinggal pilih, aku atau Supri?" Togar dan Supri tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Alice yang memerah.

"Seujung kuku pun gue ga ada cinta-cintanya sama lo berdua!" Alice memilih duduk dan menyumpal telinganya dengan headset.

Luna tersenyum kecil melihat guyonan kecil yang sudah menjadi makanan sehari-harinya. Entah harus menganggap ini lucu atau menambah penat kepalanya. Ia memilih kembali bekerja.

Tanpa ia sadari sepasang mata biru mengamatinya sedari tadi.

*****
Jam sudah menunjukan 18.30. Gedung Reaven Holding Company terlihat sepi, kecuali sebuah meja yang berada di sudut. Seorang gadis terlihat serius dengan kertas di hadapannya. Berkali-kali ia menggeliat, merelekskan otot tubuhnya.

"Selesai!" Luna berteriak bahagia. Terlihat lelah dan lapar, mengingat ia sengaja tidak makan siang karena ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Dan setelah diingat kembali, ia juga belum makan pagi tadi karena kesiangan. Luna berfikir apakah ia masih ingat makan malam karena sekarang yang diinginkannya hanya tidur di kasurnya yang empuk dan nyaman.

Setelah merapihkan barang-barangnya, Luna berdiri dan berjalan menuju lift. Pintu lift terbuka saat ia mendengar suara langkah kaki yang berat dan suara seorang lelaki yang memanggilnya.

Crap! Rutuk Luna dalam hati. Ia berbalik dan mendapati Rival menatapnya dengan senyum miring yang pastinya akan membuat wanita normal manapun akan melting. Walaupun Luna berharap dirinya bukan wanita normal.

"Ya? Ada apa kau memanggilku?" Tanya Luna to the point. Rival terlihat sudah biasa dengan sikap dingin Luna dan masih memamerkan senyumnya. "Sudah malam. Kuantar kau pulang?"

"Tidak. Terimakasih," jawab Luna seperti prediksi Rival. "Kita kan tetanggaan kan kalau aku menawarkan tumpangan?"

Luna melengos dalam hati. Tentu saja dia mau memberi tumpangan. Kami tetanggan. Jangan berharap, Luna!

"Bagaimana?" Tanya Rival lagi, menyadarkan Luna dari lamunannya. "Tidak," jawab Luna tegas.

Bertepatan dengan penolakan Luna, lift terbuka dan mereka melangkah masuk. Luna memilih berdiri di sudut dengan harapan dapat menjauh dari Rival. Sebaliknya, Rival malah semakin mengikis jarak diantara mereka hingga Luna merasa punggungnya menabrak dinding lift.

Luna mulai melirik waspada. Sedangkan Rival tersenyum tak simetris padanya. Diangkat tangannya dan disenderkannya ke didinding lift tepat di samping kepala Luna, seperti mengurung Luna.

"Mau apa kau?" Tanya Luna gemetaran. Jantungnya berdegup kencang. Ia mulai mempertimbangkan akan ke dokter jantung.
Begitupun dengan detak jantung Rival yang mulai berima tidak beraturan. Siapa sih yang iseng mendentumkan drum?! , pikir Rival.

Tangan kanan Rival yang bebas mulai memainkan rambut cokelat Luna yang dicepol tinggi. Lalu ia menarik ikat rambut Luna sehingga rambut Luna tergerai perlahan.

"Cantik," bisik Rival tepat ditelinga Luna. "Aku suka melihatmu digerai seperti ini."

Pipi Luna terasa menghangat. Semburat merah menghiasi pipinya, sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih.

Ting! Pintu lift terbuka. Luna langsung menerobos tubuh Rival yang tak siap dan berlari kecil menuju lobi.

Rival mendengus kesal. Wajahnya diusap dengan kasar. Baru saja ia berniat menggendong Luna ke mobilnya untuk pulang bersama.

Ternyata tak hanya Luna yang salah tingkah, Rival pun yang dapat dengan mudahnya menggoda wanita hanya dapat menatap Luna menjauhinya.

*****

Seorang wanita tengah terduduk di halte yang sepi. Tatapannya menerawang jauh, tak peduli bis yang ditunggunya telah lewat. Padahal malam terus berlarut, tapi tak ada tanda-tanda wanita itu, Luna ingin cepat-cepat sampai apartemennya.

Bodoh kau Luna, kata otaknya yang berfikir sehat. Kau pikir dia mulai jatuh cinta denganmu?

"Mungkin saja kan?" Kata hati kecil Luna, "dia berubah."

Dia cuma mempermainkan hatimu, sweet heart! Berhentilah berkhayal.

"Tapi dia sudah terlihat memperhatikanku. Tidak secuek dulu. Bahkan tadi dia bilang aku cantik," hati kecil Luna terasa ragu.

For God's sake! Itu hanya karena dia sudah lama tidak melihatmu. Tentu saja kau Ada perubahan

Perang batin Luna terhenti saat sebuah suara klakson mengejutkannya. Sebuah sedan hitam berhenti tepat didepannya dan seorang lelaki berjas biru keluar.

"Adam?"

"Luna! Are you okay? Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?" Sembur Adam sambil menatap Luna dari ubun-ubun kepalanya hingga tumit stilettonya. Memastikan Luna baik-baik saja.

Luna semakin merasa tak enak hati. Merasa jahat karena memikirkan seseorang yang tak peduli padanya. Sedangkan pria dihadapannya jelas-jelas peduli walau tahu Luna tidak merasakan hal yang sama dengannya.

"Bagaimana kau tau aku disini?" Tanya Luna mengalihkan perhatiannya. Adam memutar bola matanya dengan malas. "Ponselmu ada GPS nya, anak pintar. Kau tau kan dalam ponsel ada mikrochip yang dapat dilacak?"

Mengangguk-angguk tanpa mengerti perkataan Adam, Luna menurut saja saat ditarik kedalam mobil. Ia bersyukur Adam tidak bertanya lebih lanjut dan mengantarkan Luna ke apartemen dalam diam.

Mereka diam dengan pikirannya masing-masing, namun dengan memikirkan orang yang sama. Rival.

*****
Hai haiii. Nulisnya ngebut nih. Semoga kalian suka ya sama cerita amatiran ini. Jangan sungkan voment ya. Aku butuh kritik dan saran kalian. Aku mau tanya, menurut kalian ceritanya tiap chapter kedikitan ga?
Terimakasih :)

My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang