chapter 10

11.4K 428 6
                                    

Karena permintaan seorang reader, aku akan buat Adam POV. Jadi selamat baca cerita jelek ini :)

----------------------------------------------------------------------
Adam POV

Aku mengendarai Land Rover ku dengan riang. Ini hari Sabtu, jadwalnya aku dan Luna menonton film. Aku selalu bersyukur Luna bukanlah wanita yang suka film drama sehingga tidak perlu menghabiskan sekotak tisu.

Hei, tisu kan dibuat dari pohon. Berapa banyak pohon yang harus ditebang hanya untuk menangisi film drama? Sungguh menggelikan.

Mengingat serunya film yang kubawa untuk Luna membuatku terus tersenyum bahagia. Hmm... Mungkin tidak sebahagia itu. Tidak apabila wanita yang kita sayang sedang memikirkan lelaki lain saat kita sedang bersamanya.

Jangan kira aku bodoh atau apa, tidak tahu apa yang terjadi. Aku tahu semuanya. 9 tahun mengenal Luna membuatku tahu apa yang ia rasakan dan pikirkan. Dan tak ada satupun yang bisa membuat perasaan Luna jungkir balik dan membuat Luna tidak berfikir rasional. Kecuali satu orang yang sangatku kenal juga.

Ya, Rivaldi Rev Reaven.

Semuanya berubah sejak sahabat bajinganku itu kembali dari London. Semua terlihat jelas bagiku. Kenapa Luna bersikap aneh, kenapa Luna jadi sering lupa, mengapa Luna terlihat lelah dan semakin kurus, mengapa Luna menangis tanpa sebab dan mengapa akhir-akhir ini Luna berseri-seri tiap detiknya.

Aku mengetahui semua begitu bertemu Rival dihari yang sama dengan jadwal nonton kami. Sudahkah ku bilang kalau saat aku akan pulang dari apartemen Luna, aku merasa diawasi.

Oh come on, aku tidak punya sixth sense. Tapi begitu Rival keluar dari apartemennya begitu cepat, aku tahu ia mengawasi kami sedari tadi. Dan tawa dari mulutnya terasa kosong. Sudah kubilang kan kalau aku begitu mengenal Rival?

Walau begitu bukan berarti aku akan menyerah begitu saja. Kuakui aku sedikit egois, mengingat Luna masih terlihat mencintai Rival. Yang kutahu perasaannya pada Rival tak pernah berubah sejak kami masih memakai putih abu-abu.

Tapi menurutku bajingan itu tak pantas mendapatkan Luna. Aku yakin selama di London, Rival tidak sedetikpun mengingat Luna. Dan kini setelah Luna menjadi wanita seutuhnya, ia ingin merebut Luna dariku? Setelah perjuanganku untuk membuat Luna melupakan Rival? Tidak semudah itu Rival. Tidak walaupun kau sahabatku.

Aku egois? Tidak. Ini namanya perjuangan. Ingat itu.

Mungkin aku terlalu banyak tahu, tapi apa kau tahu kalau mengetahui sesuatu itu menyakitkan?

******
Rasanya Tuhan memudahkanku untuk menemui Luna. Jalan lenggang, cuaca cerah dan pintu lift yang langsung terbuka. Oh, ya menemukan mawar putih cantik di toko bunga ini juga salah satu keberuntunganku. Ini hari Sabtu dan masih ada toko bunga yang buka. Mungkin aku memang jodoh Luna. Hehehe.

Akhirnya sampai juga aku di lantai 12 lalu menyusuri lorong dan melirik sederet angka yang tertera di depan pintu masing-masing. Kakiku berhenti melangkah tepat di depan pintu bertuliskan 212.

Sebelum menekan bel, aku menghirup wangi mawar yang membangkitkan semangatku. Belum sempat aku menekan bel, tiba-tiba pintu terbuka.

Senyumku luntur. Bagaimana tidak, rencanaku untuk nonton berdua langsung buyar begitu melihat 3 makhluk brengsek yang menyambutku di balik pintu. Shen, Josh dan Kent.

"Surprise!!!" Teriak mereka bersamaan lalu terkekeh melihat tampang kusutku.

"Haii, kami bosan kumpul bertiga di cafe. Jadi kami menelepon Luna," jelas Josh yang diikuti anggukan Kent dan Shen.

My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang