Luna POV
Aku menghembuskan nafas lega -untuk kesekian kalinya. Today is Saturday, dude!
Menunggu weekend terasa berat untukku. Bukan artinya selama ini aku menjadi pegawai malas yang menjalani pekerjaan untuk mendapatkan gaji. Dengan tekadku ini, tak salah bukan kalau aku menjadi pegawai teladan?
Hanya saja aku malas melihat wajah bos baruku. Sudah 6 tahun aku(hampir) melupakan wajahnya dari benakku, malah sekarang ia muncul lagi. Bahkan tidak hanya muncul dipikiranku, kini 5 hari dalam semunggu aku harus melihat wajahnya.
Bila dihitung dalam jam, aku bertemu dengannya 7 jam. Itu artinya 35 jam dalam seminggu! Bayangkan! Padahal dulu saat SMA aku hanya melihatnya di kantin atau mushola sekolah saja. Itupun cukup membuatku melting dan lemas disaat yang bersamaan. Tapi itu dulu. Sekarang berbeda, oke?
Baiklah, aku harus memanfaatkan waktu dua hari berhargaku. Hari ini aku akan memasak pizza, maka dari itu aku turun dari apartemenku menuju ke supermarket dan membeli segala bahan-bahan makanan.
Kini tanganku penuh dengan kantong plastik belanjaanku. Malang sekali diriku yang memiliki tubuh kecil. Aku rasa berat bahan makanan ini tak seberat berat badanku.
Aku melirik jam tangan kecilku. Waktuku tiga jam untuk membuat pizza hingga teman SMA ku datang. Ini memang kebiasaan kami di akhir minggu. Menonton DVD. Yaah, aku tahu lebih keren menonton di bioskop. Tapi sofa, bantal dan selimut lebih nyaman dan murah, bukan?
Oke, dua jam lima puluh menit lagi.
Dari kejauhan aku melihat pintu lift nyaris tertutup. Tidak ingin menunggu lift selanjutnya, aku langsung berteriak, "tolong tahan lift itu!"
Betapa leganya aku setelah berada di dalam lift. Aku menurunkan belanjaanku dan meletakkannya di dekat kakiku. Untung saja lift ini sepi. Hanya ada aku dan seorang lelaki yang tadi menahan lift ini.
Aku tersenyum dan berkata, "hei, terimakasih atas bantuanmu."
Pria itu menoleh dan - ASTAGA! Sedang apa Rival disini?! Oh, tidak! Aku tersadar bahwa aku belum mandi sore karena berfikir pastinya akan berkeringat setelah memasak. Dan apa ini yang aku kenakan? Bodohnya aku memakai kaus lusuh berwarna merah dengan celana jins yang sudah belel.
"Hei, Luna kan?" Tanyanya memastikan. Aku mengangguk dan kembali menghadapkedepan, pintu lift. Tak sudi aku menatap mata birunya yang indah. Ups, lupakan kata indahnya. Otakku sedang kacau.
"Hallo? I'm here, Luna." Kini tangannya aktif menarik perhatianku dengan melambaikan tangannya di depan hidungku. "Ternyata kau tinggal disini juga? Aku pindah ketempat ini."
Apa? Aku dia bilang? Cuih. Sok akrab sekali dia. Dia pikir dia siapa? Hmm... Benar. Dia bosku.
Kini aku mengangguk formal. "Benar, pak," jawabku atas pertanyaannya.
Sesaat aku merasa tatapannya membeku saat mendengar jawabanku. Mungkin dia tidak nyaman dengan sikap formalitas yang kupertahankan. Sangat berkebalikan dengan sikap sok akrabnya.
Dia tertawa untuk mencairkan suasana lalu mengibaskan tangannya di depan hidungnya. "Jangan kaku seperti itu, Luna. Kita kan teman lama. Tidak ingatkah kau dengan masa SMA kita?"
Aku mengangguk dingin dan menjawab, "sangat ingat, pak. Sama besarnya dengan ingatan saya akan kode etik saat berbicara dengan bos sendiri."
Dalam hati, tak henti-hentinya seperti jampi-jampi aku berkata, oh dewa lift, tolonglah aku!
Seakan menjawab permohonanku, bunyi dentingan halus memecahkan kesunyian lift horror ini.
Ting!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Romance6 tahun. Waktu yang cukup lama untuk melupakan orang yang kita cintai. Sayangnya satu tatapan darinya cukup membuatku merasakan sakit itu lagi. Tidak! Dia tidak mencintaiku. Begitu juga perasaanku seharusnya. -Raluna Rosallie Ruffman- 6 tahun. Waktu...