Sedan silver itu memasuki halaman rumah yang cukup mewah di sudut jalan. Membiarkan pembantunya membukakan gerbang untuknya lalu memarkirkan di carport rumahnya, Adam turun dari mobilnya lalu mendapati pembantunya mendekatinya. Tumben. Biasanya Mbok Jah langsung ke dalam untuk menyiapkannya teh hangat untuknya.
"Den... Anu den... Itu..." mbok Jah terlihat antara gugup dan panik. Adam jadi gemas sendiri, ingin mengguncang tubuh gemuk pembantunya. Namun ia cukup ingat tata krama pada orangtua. "Anu apaan sih, mbok? Buruan ah, saya ngantuk nih."
"Itu... Ada non Luna di dalem. Udah dari tadi siang nunggu. Tapi dateng-dateng nangis den..." Tubuh Adam menengang begitu mendengarnya. Gadisnya menangis? Tanpa kata lagi Adam memasuki rumahnya lalu mencari Luna. Biasanya bila Luna main ke rumahnya, mereka akan berkumpul di loteng rumahnya. Sekadar menatap langit dan mengobrol ringan. Tapi tak perlu jauh-jauh, Adam menemukan Luna di ruang tamunya. Gadis itu sedang meringkuk di sofa dengan tatapan kosong. Matanya terlihat sembab dan hidung kecilnya memerah.
Adam langsung menghampiri Luna dan mendekapnya erat. Merasakan bahunya basah oleh air mata Luna, Adam semakin mengeratkan pelukannya, merasakan tubuh kecil Luna bergetar. Hingga beberapa lama Adam merasakan tubuh dalam dekapannnya tenang. Luna tengah tertidur. Mungkin karena kelelahan menangis yang entah berapa lama.
Dengan lembut, di bopongnya tubuh Luna ke dalam kamarnya. Mencium kening Luna setelah membaringkannya di ranjang. Adam mengetahui dengan jelas siapa orang di balik tangis Luna. Hanya orang itu yang bisa mengubah-ubah perasaan Luna. Dan untuk kedua kalinya orang itu mengecewakan gadisnya. Adam menggeram kesal. Ia bersumpah akan menghancurkan wajah Rival hingga cowok brengsek itu tidak mau bercermin lagi.
****
Rival mendesah frustasi. Demi mencari kekasihnya itu, Rival harus pura-pura kehilangan kunci apartemen Luna untuk mengecek keberadaan Luna. Namun seperti dugaannya Luna tidak ada di dalam, yang membuat ia tambah frustasi.
Katakanlah Rival bodoh, setelah menghianati Luna lantas mengkhawatirkannya. Tapi ini murni rasa cemas dan takut. Takut Luna terlalu membencinya.
Kalau masih takut buat apa rencana ini di jalankan? Kata hati Rival berkata sinis. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Rival diajarkan untuk tidak melakukan hal setengah-setengah. Ini bukan waktunya untuk mundur.
Kini Rival tengah termenung di dalam apartemennya. Memikirkan kemungkinan tempat yang didatangi Luna. Namun sebelum ia mendapat ide, bel apartemenya berdenting brrkali-kali. Terlihat jelas tamu yang memencet bel itu sangat tidak sabaran dan tak sopan. Rival menggeram kesal. Seakan Rival kurang masalah saja, sampai-sampai harus menghadapi tamu tak diundang ini.
Dengan langkah tersaruk-saruk, Rival mendekati pintu dan membukanya. Namun sebelum pintu terbuka sepenuhnya, sebuah bogem sukses bersarang ke rahang Rival membuat Rival yang tak sempat mengantisipasi langsung terjengkang ke belakang. Seakan belum puas, tamu tersebut memukul Rival berangsur-angsur. Ia tidak memberi Rival kesempatan untuk sekadar bernafas.
Rival merasa sakit disekujur tubuhnya hingga tak menyadari kepalan tangan sang pelaku sudah menjauh darinya. Ingin rasanya menghajar orang itu karena tindakan tidak adilnya.
"Puas lo?! Puas nyakitin Luna untuk kesekian kalinya?!"
Tubuh Rival membeku begitu menyadari pemilik suara. Hanya satu orang yang begitu peduli pada Luna hingga berani menghajarnya. Perlahan Rival membuka matanya, menatap mata hijau Adam yang terlihat membara. Seketika Rival mengurungkan niatnya untuk membalas pukulan kepada Adam karena ia sadar apa yang dikatakan Adam benar.
"Dimana Luna?" Mendengar pertanyaan Rival, Adam mencebik jijik. "Apa peduli lo? Kalau tau gini, gua ga akan ngizinin Luna deket sama lo. Ga peduli dia ga cinta gua. Setidaknya gua ga pernah nyakitin perasaan Luna." Setelah mengatakan itu Adam meninggalkan Rival yang termenung seorang diri. Apakah rencana ini adalah hal yang benar?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior
Romance6 tahun. Waktu yang cukup lama untuk melupakan orang yang kita cintai. Sayangnya satu tatapan darinya cukup membuatku merasakan sakit itu lagi. Tidak! Dia tidak mencintaiku. Begitu juga perasaanku seharusnya. -Raluna Rosallie Ruffman- 6 tahun. Waktu...