the time to let go

5.7K 779 65
                                    

ASKfm | angkasaa | 5 years ago

Anonymous14: Sa, be happy.
angkasaa: Kamu juga. Oke?

***

      Persiapanku hampir selesai. Barang-barangku sudah terkemas di dalam kardus-kardus besar untuk dibawa ke indekos yang baru. Aku akan pindah besok. Meninggalkan tempat tinggal pertamaku di Yogyakarta, bangunannya beserta seluruh memori di dalamnya. 

      Aku tidak pernah menyukai perpisahan--dengan apa pun dan siapa pun. Ibu dulu sering marah-marah kalau aku terus menyimpan bajuku yang sudah kekecilan di lemari hanya karena aku tidak rela menyumbangkannya ke orang lain. Sama seperti sekarang. Tidak mudah bagiku meninggalkan tempat yang menampung semua pengalamanku di kota ini.

      Namun, semua di kolong langit ini bukannya memang tentang perpisahan? Bukankah pertemuan dan perpisahan tidak bisa dipisahkan? Bukankah setiap awal pasti memiliki akhir? Bahkan dua orang yang berakhir bahagia bersama saja, sebenarnya tidak benar-benar berakhir bahagia karena akhirnya tetap akan berpisah di akhir usia.

      Tidak ada yang selamanya. Kisahku dan Angkasa pun sama. Hanya saja perpisahan kami lebih cepat. Mungkin kami belum seberuntung pasangan lain yang masa-masa bahagianya lebih panjang. Mungkin kami sudah cukup bahagia. Mungkin ini memang saatnya aku belajar meninggalkan dia sama seperti aku meninggalkan tempat tinggalku sekarang. 

      Setelah tujuh tahun bertukar pesan, setelah berjuta senyumnya yang telah kulihat, setelah ciuman, pelukan, dan tawanya yang dia berikan, aku tahu rasanya mustahil meninggalkan dia. Angkasa adalah cintaku yang paling pertama. Aku tidak mungkin sanggup merelakan dia pergi. Aku ingin terus menyimpannya seperti aku ingin terus menyimpan pakaianku yang tidak bisa lagi kupakai. Aku hanya ingin dia tetap bersamaku, meskipun aku tahu tidak bisa. Aku semakin menginginkannya, walaupun aku tahu kami harus berpisah.

      "Ta, mikirin apa?"

      Aku mengerjap. "Hah?"

      "Lo melamun dari tadi," Aya menunjuk tanganku, "sambil megangin itu."

      Aku menunduk dan melihat tanganku memegang jersey Wayne Rooney.

      "Oh, iya. Ini mau gue kasih ke panti aja," ucapku lalu menaruh jersey Rooney dan Rashford ke dalam box dengan post-it kuning yang berarti 'giveaway'. 

      "Yakin mau di kasih ke panti aja?" 

      "Kenapa nggak yakin?"

      Aya menatapku lama. "You know why."

      "Karena ini gue beli buat Angkasa?"

      "Ta..." Aya tersenyum sedih. 

      "Nggak apa-apa, Ya. Gue nggak apa-apa kok."

      "Lo tuh kenapa-kenapa." Aya berdecak lalu menghampiriku. 

      Aya menarikku duduk di atas kasur dan aku sudah tidak punya tenaga untuk melawan. Jadi aku duduk dan Aya bersimpuh di depanku. 

      "Lo ngapain sih?" tanyaku.

      "Gue udah tahu semuanya. Lo putus kan sama Angkasa?"

      "Lo sendiri yang selalu ngeledekin gue nggak pernah pacaran sama Angkasa. Putus apanya?"

      "Ta, jangan pura-pura nggak ngerti. Lo, gue, dan semua orang tahu kalian lebih dari pacaran. You guys are like soulmates," ucap Aya setelah mencebik.

       "Soulmates don't hurt each other, Ya."

       Aya meremas tanganku. "How bad did he hurt you?"

I'll Tell The Stars About You | The Stellar Shelf #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang