the blind alley

6.4K 823 134
                                    

ASKfm | angkasaa | 5 years ago

Anonymous14: Apa puncak tertinggi dalam kasih sayang?
angkasaa: Perpisahan.

***

      Gelap menyambut kedatanganku. Semua lampu di dalam rumah Angkasa tidak dinyalakan. Cahaya hanya menembus dari lampu-lampu taman. Setangkai peony tergeletak begitu saja. Begitu banyak benda-benda yang hancur di lantai. Beling-beling pecah, layar televisi rusak, beberapa kertas gambar besar berisi tugas kuliahnya robek, buku-buku yang tadinya ada di atas meja kini berserakan karena terjatuh, berbagai piringan hitam lagu jazz yang sering ia putar kini patah--Angkasa menghancurkan isi rumahnya.

      Tanganku gemetar. Kakiku berat melangkah. Air mataku terus turun tanpa bisa kuhentikan. Kepalaku terus mereka ulang betapa hancurnya tatapan Angkasa. 

      Aku memejamkan mataku sejenak ketika aku mendapatinya. Aku hanya bisa melihat punggungnya dari tempatku berdiri. Dia duduk di sofa menghadap dinding kaca. Kedua lengannya bertumpu di lutut, kepalanya tertunduk. Dadaku semakin sesak. No, you're not alright, Angkasa.

      "Tadinya aku mau minta maaf soal Nana. Maaf aku ganggu kamu dan Arthur."

      Suaranya parau. 

      Kupaksa kakiku melangkah kepadanya. Aku bersimpuh di depannya dan meraih tangannya. Perlahan pandangannya terangkat dan saat itu juga tangisku semakin deras. Kepedihan itu tidak bisa lagi dia sembunyikan. Aku melihatnya. Aku yang membuatnya. Aku terlanjur menyakitinya. 

      Dia hancur di hadapanku dan aku tidak bisa apa-apa.

      "It's not what you think it is. Aku jelasin, ya, Sayang, ya," kataku sehalus mungkin. 

      Angkasa tetap diam. Pilu tatapannya terus menyakitiku.

      "Aku ketemu Nana di studio Arthur. Dia cerita semuanya, Sa. Habis dia pergi, aku nangis. Arthur masuk dan peluk aku untuk tenangin aku. Aku tutup mata dan waktu aku buka mata lagi, dia udah dekat sekali sama aku. Tiba-tiba dia nyatain perasaannya gitu aja. Aku nggak mau itu semua terjadi, Sa. I didn't kiss him, I wouldn't. I wasn't going to, I never meant to."

      Angkasa menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Kenapa kamu nangis awalnya?"

      Aku terdiam. 

      "Karena aku?" Pertanyaannya yang lembut terasa perih.

      "Sa..." Aku menggeleng. "Aku cuma kecewa sama diriku sendiri. Aku cuma berharap aku lebih kuat dari ini untuk nemenin kamu. Aku cuma lagi capek. Itu aja."

      "Kamu capek itu karena siapa? Karena aku?" 

      "Bukan, Sa," aku berkilah. "Aku belum mau nyerah sama kamu."

      Angkasa tersenyum pahit. Jemarinya mengelus wajahku.

      "Ta," sebutnya halus. "Aku tahu kamu nggak akan nyerah sama aku. Itu alasannya aku jauh dari kamu. Kamu tahu semua tentang aku lebih dari siapa pun. Kamu tahu sampai luka terdalam aku, kamu tahu, Ta. Kamu tahu betapa hancurnya keluargaku. Kamu bahkan lihat sendiri semuanya. Aku penuh masalah dan kamu tetap mau aku. Aku cuma bisa kasih kamu yang buruk-buruk dan kamu tetap terima aku. Aku malu, Amarta."

      Dia tidak membiarkanku membalas, "Kamu bilang kamu gagal karena aku lari ke yang lain selain kamu? Kamu nggak gagal, Amarta. Aku nggak lari ke kamu bukan karena aku nggak sayang kamu, justru karena aku sangat sayang sama kamu."

      Aku menggeleng lagi. "Kalau kamu sayang aku, kamu nggak jauhin aku."

      "Aku lari ke mana-mana karena aku nggak bisa numpahin emosi aku ke kamu. Semakin kamu tahu apa yang aku rasain, semakin kamu akan terus ada sama aku--aku yakin itu, aku paham kamu. Sedangkan, setelah trauma ini terulang lagi, aku kehilangan diriku sendiri dan aku ragu kalau aku bisa kasih apa yang kamu harapkan dari aku."

I'll Tell The Stars About You | The Stellar Shelf #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang