ASKfm | angkasaa | 7 years ago
Anonymous14: kenapa deactivate instagram?
angkasaa: biar ditanya sama lo***
"Mas Aksa nggak bisa dihubungin, nih. Chat gue nggak dibalas, telfon juga nggak diangkat."
Aku melirik Anita yang menatapi ponselnya terus menerus. Untuk menghindari spam, orang yang berkontak dengan Angkasa hanya PO, VPO, dan sekretaris--aku, Arthur, dan Anita. Mungkin di antara Arthur dan Anita, hanya aku yang belum mencoba untuk mengirimi Angkasa pesan apalagi meneleponnya. Aku tahu aku salah. Secara profesional, aku seharusnya ikut membantu teman-temanku menghubungi Angkasa. Namun, sejak 'ketangkap basah' kemarin lusa, aku masih tidak berani. Nyaliku hilang entah ke mana untuk menghadapi Angkasa saat ini.
"Thur, udah coba hubungin juga?" tanyaku kepada Arthur di sebelahku.
"Delivered, tapi belum read. Sibuk kali, ya?" Arthur memperlihatkan ponselnya.
"Nggak apa-apa. Coba aja chat berkala. Nggak usah takut spam, dia pasti paham," balasku yakin.
"Gue nggak enak, ah."
Aku tertawa. "Tenang. Dia orangnya pengertian kok."
Semoga. Semoga Angkasa juga cukup pengertian untuk memaklumi kebohonganku waktu itu.
Sebenarnya kami kelabakan ingin menghubungi Angkasa karena tadi Mas Arquel meminta narasumber talkshow ditambah lagi. Kata Mas Arquel, tiga pembicara terlalu sedikit untuk agenda talkshow dua hari. Jadi, kami diminta menambah tiga pembicara lagi supaya di masing-masing talkshow day bisa diisi oleh tiga pembicara. Sementara itu, dengan budget yang tidak besar, aku dan teman-teman panitia bingung bagaimana cara mencari pembicara bagus. Sekali pun kami mengundang tiga pembicara itu dari alumni, anggaran juga tidak cukup.
Solusi dari Mas Arquel tadi adalah mengundang pembicara yang sama dengan tahun lalu melalui Angkasa. Biar Angkasa yang melobi lalu dari panitia ArtEx tahun ini tinggal menyelesaikan administrasi seperti MoU dan teknis lainnya saja.
"Ta, telfon dari Aya itu," Arthur berkata dan memecahkan lamunanku.
Aku mengangguk kemudian mengambil ponselku yang berdering di atas meja sebelum melipir ke ujung ruangan. "Ya?"
"Lo di mana?" tanya Aya di ujung sambungan.
"Lagi rapat di ruang rapat. Kenapa, Ya?"
"Lo udah coba hubungin Angkasa?"
Aku menghela napas. "Belum."
"Kenapa lo? Nggak berani, ya?" Pertanyaan Aya lebih terdengar seperti ledekan.
"Gue nggak enak banget sama dia," ucapku sambil mengusap dahiku. "Bego banget gue pake bohong."
"Nah, itu tahu bego. Makanya, minta maaf sana."
"Minta maaf ke Angkasa?"
Aya berdecak. "Ya, masa minta maaf ke Arthur?"
"Takut."
"Ngapain takut, sih? Kemarin kan Angkasa nggak marah-marah," kata Aya mencoba menenangkan.
Aku menggeleng. "Justru karena dia nggak marah dan malah senyum-senyum yang bikin gue makin nggak enak. I lied to him and he was trying to be okay with that. Dia memang nggak marah-marah, tapi dia buang muka waktu gue natap dia. Dia nyindir gue. Dia juga panggil gue 'Amarta'. Gimana gue nggak takut?"
"Ya, Tuhan. Gue gemes banget sama lo berdua. You two are clearly attracted to each other, tapi banyak banget dramanya." Napas Aya terbuang berat. "Ya udah, lo bilang maaf, Amarta. Mau dilihat dari sisi apa pun, bohong itu salah. Lo juga pasti udah sering bohongin Angkasa kan?"
Aku terdiam sebentar. Memang banyak kebohongan yang aku lakukan dan Angkasa selalu menanggapi kebohongan itu dengan cerdik. Namun, entah kenapa kebohongan kali ini membawa kilat yang berbeda di matanya. Apa memang dia tidak suka ketika aku bersama Arthur?
"Nanti dia pikir gue pengin dia deket-deketin gue lagi," kataku.
"Lah, emang iya kan?" balas Aya menyebalkan. Memang tidak salah sebenarnya.
"Aya..." Aku pura-pura menangis. "Gue harus gimana dong?"
"Cari dia, Ta. Minta maaf. His eyes could tell everyone that you've hurt him."
***
Aku baru saja selesai konsultasi dengan Mas Arquel di perpustakaan pusat. Mas Arquel sudah pergi duluan karena ada rapat BEM. FPT sudah benar-benar di depan mata dan aku bersama teman-teman panitia masih belum mendapatkan tiga pembicara tambahan. Mas Arquel terus-terusan mengacu pada ArtEx di bawah pertanggungjawaban Angkasa tahun lalu dan memintaku untuk terus melakukan follow up ke Angkasa yang sampai detik ini tidak bisa dihubungi panitia.
Saran Aya sudah kuturuti. Aku mengirim pesan kepada Angkasa, walau aku belum meminta maaf karena nyaliku terlalu kecil.
Amarta: Angkasa
Amarta: Di mana?
Kubaca lagi pesanku yang terkirim. Belum dibaca.
Sudah satu minggu sejak insiden 'tertangkap basah' di Starbucks dan sejak itu aku belum berbicara dengan Angkasa lagi. Ya, satu minggu. Satu minggu dia tidak muncul tiba-tiba atau sekadar mengirimiku pesan-pesan menyebalkan. Aku menghela napas. Kalau memang dia marah, aku mengerti. Namun, aku akan terus gelisah jika Angkasa mengabaikan aku seperti ini. Apalagi, posisinya sekarang aku butuh tukar pikiran sama dia.
Apa benar kata Aya? Apa aku memang harus minta maaf dulu? Pertanyaan itu berputar berpuluh-puluh kali ketika aku merenung dan menatapi layar laptopku yang menyala.
"Sa..."
Oh, no. Perpustakaan lagi?
Aku tidak tuli. Suara perempuan yang menyebut nama itu dan suara kecupan yang konstan terdengar sangat nyata. Kali ini sumber suara persis di belakangku. Mungkin beberapa meter di belakang rak-rak buku. Dan tentu saja, wajah tampan si casanova tengil muncul di pikiranku saat aku mendengar suara itu. Ini bukan déjà vu. Ini memang terulang.
Beberapa menit aku mencoba fokus mengetik di laptop. Aku sudah berusaha tenang seakan di belakangku tidak ada manusia yang lagi sibuk berciuman—atau hal lain yang mereka lakukan. Namun, aku gelisah setengah mati. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa aku hanya kesal karena fokusku buyar, bukan karena hatiku tiba-tiba sesak membayangkan siapa yang sedang mencium siapa di sana. Tampaknya perpustakaan memang tempat make out favorit Angkasa.
"Sa..." Suara perempuan itu cukup serak. "Kapan gue bisa datang ke apartemen lo? Gue kangen main bareng."
Aku tidak sadar tanganku terkepal. Aku semakin yakin itu benar Angkasa saat suara tawanya yang mudah kukenali terdengar. "Kapan aja."
"Okay."
"Still remember the rules?" Ucapan Angkasa yang ini membuatku mengernyit.
"No strings attached, right? Oh, that's so you, Aksa."
Sial! Aku menutup laptopku dengan kencang. Kubereskan barangku cepat sebelum berdiri dan berbalik badan menuju pintu keluar. Belum sampai pintu, aku menoleh ke lorong sumber suara yang kudengar dari tadi. Angkasa masih mengurung seorang perempuan cantik berambut cokelat terang dengan kedua tangannya yang memegang rak buku. Aku belum beranjak saat Angkasa mencium bibir perempuan di depannya dan membiarkan perempuan itu mengelus wajahnya.
Kepalan tanganku menguat ketika Angkasa menyadari aku berdiri menatapnya. Perempuan di depannya ikut menatapku dengan malas karena aku mengganggu aktivitas mereka. Namun, Angkasa... matanya yang teduh mendapati kehadiranku dan membalas tatapanku begitu dalam. Mataku mulai panas tiba-tiba. Aku yang tidak memberi ekspresi apa-apa memilih mendorong pintu untuk keluar. Aku tidak bisa terus bertahan di sana saat ada sesuatu di dalam diriku yang rasanya berantakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Tell The Stars About You | The Stellar Shelf #1
Roman d'amourA romance novel (but as a love letter) || Completed. It's the truth, they say, that whoever comes to mind every time you look at the luminous skies is who you love, and when the dimming stars ask me, "who is it?" please remember my answer: you. i'll...