Jiyad termenung seraya duduk di bangku depan ruang rawat uminya. Sekarang sudah pukul sembilan malam, tapi Jiyad tidak mengantuk sama sekali padahal besok masuk sekolah. Pikirannya terus saja dipenuhi oleh keputusan yang telah disetujuinya tadi: menikah dengan Alda secepatnya.
Saking larut dalam lamunannya, Jiyad sampai tidak sadar bahwa sang abi telah keluar. Ketika bahunya ditepuk, Jiyad pun refleks beristighfar dengan penuh keterkejutan.
"Jangan ngelamun. Kamu gak apa-apa, Jiyad?" Kyai Ahmad duduk di bangku sebelah Jiyad.
Jiyad hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. Kyai Ahmad yang mengerti bahwa Jiyad tidak mau memberitahu pun menghela napas.
"Kamu beneran gak keberatan kalau nikah sama Alda, kan, Jiyad? Kalau misalkan belum siap, gak apa-apa, nanti abi bicara sama umi," ujar Kyai Ahmad pada Jiyad.
"Bukan gitu, Abi."
"Kalau bukan gitu, kenapa keliatannya terbebani?"
Jiyad tak bisa menjawab. Dia benar-benar kebingungan hingga kehilangan kata-kata untuk membalas apa yang baru saja dipertanyakan abinya. Jujur, dia tidak keberatan; sama sekali tidak keberatan. Hanya saja, ada beberapa faktor yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan hal itu.
"Kalo beneran belum siap, bilang sama abi. Jangan terlalu memaksakan. Allah gak suka sesuatu yang penuh paksaan. Kamu, kan, tau itu." Kyai Ahmad kembali berbicara. Jiyad langsung menggeleng.
"Insya Allah, Jiyad gak terpaksa sama sekali. Jiyad ikhlas. Jiyad akan menikahi Alda sesuai keinginan umi, abi, dan juga Allah," ucap Jiyad dengan sungguh-sungguh. "Jiyad akan berusaha, Abi. Jiyad berjanji akan menjaga Alda dan senantiasa membawanya ke jalan Allah," tambahnya kemudian. Mendengar itu, Kyai Ahmad tersenyum senang.
"Bagus kalau begitu. Abi pegang kata-kata kamu." Tangan Kyai Ahmad terjulur untuk mengusap lembut bahu putra semata wayangnya itu.
• • •
Esok paginya, Alda terus mencuri-curi pandang ke arah Jiyad yang sedang beristirahat juga di kantin. Cowok itu tengah asik mengobrol dengan teman-temannya tanpa menyadari bahwa sedang diperhatikan.
Memikirkan hal kemarin, Alda tak bisa tenang. Bukan karena terpaksa menerima, tapi karena gugup. Bahkan, dia sampai tak bisa berhadapan dengan Jiyad saking gugupnya. Tak lama lagi, cowok itu akan menjadi seseorang yang memimpin kehidupannya.
"Alda."
Alda terperanjat saat merasakan tangannya disentuh.
"Kamu kenapa ngelamun?"
"Gak kenapa-kenapa, kok." Alda kemudian tercengir. Arumi menyipitkan matanya karena merasa curiga. Jika tidak kenapa-kenapa, mengapa Alda melamun seperti barusan?
"Anna sama Angga, kok, belum ke sini? Mereka kemana dulu, sih?" Alda bertanya untuk mengalihkan kecurigaan Arumi.
"Gak tau juga, paling lagi berduaan. Mereka, mah, gitu, suka mesra-mesraan diam-diam. Udah, biarin aja. Cepet habisin makanan kamu, abis itu ke kelas," jawab Arumi. Alda mengangguk, sejurus kemudian matanya melirik ke arah Jiyad lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] JIYAD
Fanfiction‹ 𝐉𝐈𝐘𝐀𝐃 › ft Park Jongseong ❝Saya akan berusaha memantaskan diri agar bisa membimbing kamu menuju surganya Allah, Alda.❞ - Muhammad Jiyad Al-Hanan.