Bagian 3

26K 1.2K 121
                                    

Esa memandangi jam tangan hitamnya sudah jam 12.49, tinggal 11 menit lagi dan dia bisa pulang. Suntuk, dijejali pelajaran yang menurutnya membosankan.

'Cmon.. cepet udahan dong pak..!! ngomong mulu daritadi gak ada capeknya!' gerutu Esa dalam hati.

Sebelas menit kemudian, suara yang Esa nanti-nantikan pun terdengar juga, 'Kringggggg...' mata Esa yang semula sayu kini terbuka lebar dan tanpa disuruh langsung memasukkan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas.

"Oke, sekian dulu pertemuan kita kali ini, sampai bertemu lagi minggu depan, dan jangan lupa ya tugasnya. Minggu depan saya periksa! Selamat siang." Ujar Pak Siswoyo sambil menenteng tasnya keluar kelas.

"Hufft... PR lagi." Esa hanya bisa menghembuskan nafas kesal sambil menggerutu dan menenteng ranselnya, ia menengok ke belakang, dilihatnya Rama sedang berjalan ke bangku paling depan dengan membawa buku, tampaknya ia mencatat tugas yang ditulis Pak Siswoyo. Wajar kalau Rama samapi harus kedepan untuk mencatat, terang saja, lah tulisannya Pak Siswoyo keriting begitu, gak mungkin bisa dibaca kalo dari belakang. Ingin sekali Esa pamit padanya, tapi... mengingat apa yang terjadi tadi pagi saat Esa di cuekin membuat Esa jadi ciut duluan, akhirnya dia memilih untuk berpaling dan meninggalkan kelas. Begitu Esa sampai di gerbang sekolah, dia menengok kanan-kiri.

"Loh, Pak Ujang mana nih? Kok jam segini belom dateng sih?"

Esa pun bersandar di depan gerbang, 5 menit.. 10 menit.. 'Capek ah!' gerutu Esa dalam hati. Mobil jemputannya masih belum keliatan. Ia pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam sekolah dan duduk di kursi taman sekolah. Dari sini dia bisa melihat ke arah jalan raya sehingga bisa tahu kalau mobil jemputannya sudah datang. Esa pun mencoba menghubungi Pak Ujang.

"Halo, Pak..! kok belum dateng sih?" tanya Esa begitu pangggilannya diterima.

"Iya maaf Den, ini Pak Ujang abis nganterin nenek Den Esa chek up ke dokter, nah ini pas mau jemput Aden eh dijalan macet, habis ada yang kecelakaan.. bentar ya Den." Esa jadi ingat kalau neneknya memang sedang sakit.

"Ya deh, cepet ya Pak."

"Iya Den, 20 menit lagi ya.." ujar Pak Ujang.

Esa pun memutuskan panggilannya dan menunggu dengan wajah kusut. Dia paling tidak suka jika harus menunggu, apalagi sejak tadi dia sudah sumpek dngan pelajaran. 

'Grrr... siapa sih? pake acara kecelakaan segala. Udah sakit bikin macet lagi.' omel Esa dalam hati.

Saat murung-murungnya, mata Esa menangkap sosok yang membuatnya sadar kembali, Rama! Sepertinya dia sudah selesai mencatat tugas di papan tulis, kini dia berjalan menuju gerbang sekolah. Esa nyengir gak jelas dan segera memencet tombol hapenya.

"Halo Pak Ujang? Gak usah jemput deh Pak, aku mau jalan kaki aja." Katanya dengan senyum manisnya yang penuh arti, hehe..

****

Sulit untuk meyakinkan Pak Ujang yang ngeyel untuk menjemput Esa. Namun Esa bersikeras untuk berjalan kaki dengan alasan ingin tahu jalan menuju rumah (gak adakah alasan yang lebih meyakinkan?). Akhirnya setelah berdiskusi dengan serius, Esa bisa bernafas lega dan boleh berjalan kaki. Esa pun segera membenarkan posisi ranselnya dan berlari mengejar Rama. Esa bingung rasanya baru sebentar dia menelpon Pak Ujang, tapi dia sudah kehilangan jejak Rama.

'Hufft.. Rama kok cepet banget sih?' gumamnya dalam hati, nafasnya agak tersengal setelah berlarian dari gerbang sekolah 'Hufft.. dia keturunan Flash kali ya?' 

Dahaga hebat menderanya, meskipun Bi Ida seringkali mengingatkannya untuk tidak jajan sembarangan, apalagi es, namun kali ini Esa benar-benar butuh air, air yang dingin. Kebetulan di dekat Esa berdiri, ada warung yang kelihatannya menjual es (kelihatan dari sachet pop ice yang bergelantungan di etalase dan beberapa  jenis buah-buahan). Ia pun berjalan mendekati warung itu, matanya menjelajahi rentetan pop ice dengan berbagai rasa hingga akhirnya dia menjatuhkan pilihan pada pop ice rasa durian. 'Yap! mantap nih..' Langsung saja Esa  masuk dan menemui penjual warung tersebut, seorang ibu paruh baya.

Aku Bisa Membuatmu Jatuh Cinta Kepadaku Meski Kau Tak Cinta KepadakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang